Jumat, 04 September 2009

Artikel " Rekaderisasi Aktivis

Rekaderisasi Aktivis Mahasiswa Berbasis Sufistik

Oleh

Imam Suhairi*

Saya sangat kaget bercampur malu, ketika mendengar sahabat saya, rekan seperjuangan ditahan gara-gara terindikasi melakukan korupsi. Korupsi salah satu program pemberdayaan masyarakat, sebut saja P2SEM (Proyek Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat), meskipun katanya, program itu adalah dana hibah dan masih debatable dalam aspek hukumnya. Kawan seperjuangan dulu yang getol memperjuangkan aspirasi rakyat kecil. Kawan saya dulu yang cerdas menganalisis problem umat dan selalu berorientasi keberpihakan pada grassroot. Rasa malu saya muncul disertai pertanyaan tidak percaya kenapa hal itu bisa terjadi pada sahabat saya itu, rasanya tidak mungkin?

Fenomena tersebut bagi kader aktivis, sungguh sangat ironis dan akan berbuntut panjang bagi social building khususnya pencitraan sosial dunia aktivis. Setiap saya bertemu dengan orang-orang (aktivis LSM, Media, Birokrasi,dan Penegak Hukum) selalu mengernyutkan dahi sambil tertawa kecil “, dulu jadi pendemo anti korupsi dan sok moralis, sekarang malah didemo karena korupsi”. Tidak ada pembelaan bagi lembaga aktivis, kecuali saya bilang “, itu kan satu orang oknum dari ribuan alumni dan kader aktivis atau bisa saja itu hanya korban kepentingan politik sesaat”,

Terlepas dari berbagai kepentingan di balik itu semua, masyarakat kini mengalami degradasi kepercayaan luar biasa bagi gerakan aktivis mahasiswa. Ketika kepercayaan kepada parpol, LSM agak pudar pasca reformasi, harapan sebenarnya pada kaum intelektual mahasiswa untuk memperjuangkan beberapa hal kepentingan dan aspirasi rakyat yang tersumbat. Mahasiswa masih dianggap murni dan jauh dari kepentingan politik tertentu dengan independensi dan netralitas mereka. Ketika kaum mahasiswa terinveksi virus kekuasaan, uang, dan kepentingan tertentu, pertanyaannya kemudian, siapa lagi yang akan mendampingi rakyat dalam memperjuangkan aspirasi mereka.

Meskipun kita sadar, bahwa aktivis mahasiswa juga kelompok individu yang sedang mencari jati diri dan masa depannya. Namun mereka yang utama adalah agen of sosial critis dan agen of change yang senantiasa ditunggu rakyat, perjuangan dan pergerakannya. Ketika telah menjadi alumni dan berbaur dengan masyarakat, bergerak pada profesi apapun, mental keaktivisannya masih diharapkan masyarakat. Praksisnya, pekerjaan apapun yang nantinya mereka tekuni mulai dari petani, buruh, pekerja media, pendidik, LSM, politisi, penegak hukum, dan birokrat sekalipun diharapkan tetap konsisten dalam nilai-nilai kaderisasi dalam perjuangannya membela rakyat kecil.

Namun dalam perjalanan pergerakan aktivis mahasiswa kebanyakan telah ternodai oleh banyak kepentingan. Seakan gerakan yang mereka usung bukan tanpa latar belakang kepentingan disertai pertanyaan, apa dan siapa dibalik itu?. Akankah mereka hari ini telah banyak menggadaikan segudang idealisme-nya hanya untuk kepentingan eksistensi hidup parsial dan sempit, seperti makan dan uang atau untuk kepentingan haluan masa depan karir politiknya/kekuasaannya?. Pada akhirnya, mereka rela berbuat apa saja untuk mencapai kepentingan itu, termasuk saling”sikut” antar teman seperjuangan sekalipun. Bahkan ada kalimat , memasuki dunia aktivis, bersiaplah untuk bohong dan “gonto’-gonto’an” dengan siapa saja.

Apa yang salah dari fenomena itu?. Akankah kita menyalahkan sistem pengkaderan yang selama ini telah didoktrinasi pada mahasiswa baru calon aktivis, bisa saja mungkin demikian.

Kalau saya cermati, sistem pengkaderan aktivis mahasiswa belum bermakna pada pembentukan pribadi yang religius dan moralis. Mereka dicetak bukan untuk itu, tetapi baru pada pemberdayaan kapasitas intelektual dan kepekaan sosialnya. Praksisnya, tema pengkaderan selalu berorientasi kecerdasan intelektual dan sosial, jarang ditemukan pada spiritual. Materi dimensi ketuhanan belum memperoleh porsi seimbang dengan materi-materi sosial yang diberikan. Maka, jangan heran kalau pasca pengkaderan, mahasiswa calon aktivis, berubah jadi sosok pemberani pada siapapun, termasuk pada Tuhan.

Ke depan, perlu kiranya memformat pengkaderan lebih sufistik, sekaligus merekaderisasi kader yang telah tercemar, bagi kelangsungan dunia aktivis yang lebih bersih. Nilai-nilai sufistik perlu dimasukkan dalam hati kader yang menekankan pada nilai kesederhanaan hidup (zuhud), siap hidup apa adanya (qana’ah), dan selalu ikhlas Ilallah (semua potensi fikir dan gerakan ditujukan karena Tuhan semata).semoga.

Tidak ada komentar: