Mbah Cholil Bangkalan
Syaikhona KH. Cholil, kyai masyhur dan alim dari Bangkalan Madura,
kedatangan tamu seorang bapak dari desa. Maksud kedatangan tamu tersebut
adalah mengeluhkan perihal anaknya yang suka makan gula.
"Anak saya tidak mau berhenti makan gula, Kyai. Sudah tidak terhitung
lagi saya menasehatinya agar mau berhenti makan gula!" kata tamu itu
mengeluhkan anaknya. "Jajanan anak saya, jika tidak permen ya pasti
gula, Kyai," orang itu melanjutkan."Tolong saya diberi sesuatu sebagai
obat agar anakku mau berhenti makan gula, Kyai! Saya takut ia akan
penyakitan karena kebanyakan makan gula!"
Demi mendengar keluhan tamunya itu, Kyai berpikir juga. Keluhan tamunya
itu tampaknya memang sepele, yaitu mencari cara untuk mengatasi anaknya
yang bandel, yang suka makan gula. Tampaknya Kyai menanggapinya dengan
serius.
"Bapak ini setiap hari hanya minum air?" tanya Kyai tiba-tiba. Sang
tamu merasa terkejut ditanya demikian. "Tidak Kyai! Kadang minum kopi,
kadang minum teh!" "Pakai gula?" "Tentu saja Kyai!" di hati Bapak itu
terasa geli juga mendengar pertanyaan Kyai Cholil. Kira-kira apa ya
hubungannya? Hening sejenak.
Sesaat kemudian : "Begini, Bapak pulang saja dulu, tiga hari lagi kesini
bersama anak Bapak!" Tanda tanya memenuhi benak sang bapak,ia berpikir
kenapa tidak diberi doa atau mungkin segelas air yang sudah dibacakandoa
untuk pengobatan anaknya? Begitu sulitkah bagi Kyai?
Tiga hari berlalu, orang dari desa itu datang lagi menghadap Kyai
Cholil bersama anaknya yang suka makan gula itu. Setelah anaknya
dihadapkan pada Kyai Cholil, bukannya diberi do'a malah dinasehati.
"Nak, kamu jangan suka makan gula lagi ya?" Nasehat Kyai pada anak itu
seperti ketika menasehati cucunya sendiri. "Iya Kyai!" jawab anak itu
patuh. Terasa di hati bocah itu seperti tengah disiram air pegunungan
yang sejuk, menyegarkan. Indah pula rasanya dihati. Setelah itu Kyai
tidak berbuat apa-apa lagi.Bahkan bercengkerama dengan sang anakdengan
menghujani pertanyaan-pert anyaan tentang dunia anak. Lama-lama hati
sang Bapak gundah juga. Ia berprasangka, sepertinya Kyai Cholil tidak
berusaha 'mengobati' anaknya.
"Sudah begitu saja Kyai?" tanya sang Bapak kemudian. "Iya Pak. Saya
kira saya sudah menuruti kemauan Bapak. Saya sudah menasehati anak Bapak
agar tidak hobi makan gula lagi!" Jawab Kyai.
Lagi-lagi jawaban Kyai membuat sang bapak itu makin terheran-heran.
"Kyai, kenapa anak saya hanya diberi nasehat begitu saja?" tanyanya.
"Jika hanya nasehat, saya sendiri sebagai ayahnya sudah tak terhitung
lagi menasehatinya!"
"Itulah masalahnya!" "Maksud Kyai?" "Saya jelaskan ya Pak, kenapa
sampeyan saya suruh pulang dulu dan baru tiga hari kemudian saya minta
kembali. Karena saya berdoa dan berpuasa selama tiga hari itu dengan
tidak makan gula, agar ketika menasehati anakmu omongan saya bisa
dipercaya!" jawab Kyai.
Rupanya jawaban Kyai yang terakhir bikin mulut orang itu tercekat. Tak
sepatah katapun yang bisa diucapkan lagi. Dia tidak habis pikir, sampai
seperti itu Kyai Cholil yang hendak menasehati anaknya? Harus dirinya
dulu yang menjalani nasehatnya dengan bersusah payah berdo'a, berpuasa
selama tiga hari sebelum disampaikan kepada si anak. Orang sekaliber
Kyai Cholil saja, yang terkenal dengan ilmu nahwu, fiqih dan tasawuf itu
masih harus 'tirakat' untuk sekedar berucap satu kalimat. Kedekatannya
kepada Allah SWT sungguh luar biasa, sehingga setiap langkahnya selalu
bernuansa dzikrullah, ingat Allah.
Akhirnya tamu itu pulang dengan membawa cerita keteladanan sang Kyai.
Kenyataannya memang, sang anak langsung sembuh alias tidak lagi suka
makan gula.