Minggu, 21 September 2008
Reorientasi Nilai Tradisi Lebaran
Reorientasi Nilai Tradisi Lebaran
Oleh
Imam Suhairi*
Suasana suka cita bercampur cemas menyambut datangnya sang fajar Idul Fitri terasa dimana-mana. Sikap cemas mengingat sabda Rasulullah SAW “ kam min shaaimin laisa lahuu min shaumihii illa al-ju’wa al ‘atas” (banyak orang yang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga). Statemen nabi tersebut, tidak hanya berimplikasi spiritual semata, tetapi juga berdimensi sosial.Orang yang bertakwa akan selalu memberikan empowering bagi masyarakat lingkungannya. Masyarakat akan merasa terayomi dengan kehadirannya dengan suasana kebersamaan dan keterbukaan. Komunitas semacam inilah yang ideal bagi aktivitas lebaran masyarakat kita.
Tetapi aktivitas lebaran kita sampai hari ini lebih menampakkan diri dalam bentuk “elitisme” hari raya, yang mengarah pada ketidakadilan etika sosial. Ada disparitas yang timpang dalam tradisi lebaran yang harus dikaji ulang dan dikembalikan pada nilai asalnya.
Tradisi Serba Baru
Setiap datang Hari Raya Idul Fitri yang nampak di masyarakat kita tradisi serba baru. Hampir seluruh masyarakat disibukkan dengan memborong baju baru, sarung baru, sandal baru, dan belanjaan lain yang dianggap baru. Terkonstruk dalam benak masyarakat, bahwa lebaran harus mengenakan barang yang baru dibeli.
Fenomena ini tidak dapat disalahkan begitu saja, meskipun telah terjebak pada suasana ‘konsumerisme’ berlebihan. Yang terjadi berikutnya saling unjuk kekuatan antar kaum bourjuis memborong barang-barang apa saja yang lebih terkesan ‘lux’ dibandingkan dengan kaum menengah yang dapat membeli barang “itu-itu saja” atau bahkan kaum proletar yang mungkin tidak dapat mengganti baju baru lebaran, karena hanya cukup untuk bertahan hidup.
Akibatnya, kita hampir melupakan sebagian kelompok masyarakat yang sedang berada dalam kepedihan akibat kemiskinan yang terus-menerus mendera ditengah-tengah kemeriahan artifisial ini.
Tradisi Mudik dan Halal bilhalal
Dalam banyak hal, tradisi mudik secara psikologis mengobati rindu yang terpendam beberapa lama pada sanak keluarga dan kampung halaman. Mereka saling bercengkrama dengan bebas untuk saling sharing pengalaman, meskipun kita yakin para pemudik yang akan mendominasi komunikasi karena dinilai lebih punya pengalaman.Fenomena mudik lebaran setidaknya telah melahirkan hegemoni status sosial tertentu dalam masyarakat kita. Dari segi bahasa saja yang dipakai yakni 'pulang kampung' mengisyaratkan ’kampung’ mengalami subordinat dengan kota.
Para perantau telah sedikit melupakan asal-usul, dan kultur aslinya.Bila sebelumnya aspek kekerabatan dan solidaritas lebih diutamakan, kini mereka lebih mementingkan karir pekerjaan dan materi. Secara tidak sadar, para pemudik telah membawa ’ideologi’ baru ke kampung asal mereka. Falsafah orang kampung (Madura) ”ngakan ta’ngakan asal akompol” ( makan tidak makan asal berkumpul) yang bisa dimaknai bahwa solidaritas sosial dan rasa kekeluargaan itu di atas segalanya daripada sekedar mencari materi, tidak lagi berbekas.
Problem baru yang muncul, antara lain : (1) masyarakat yang ditinggalkan akan tercipta ketergantungan yang terus-menerus kepada sanak-keluarganya yang sukses di perantauan.Yang ke (2), tradisi mudik telah menciptakan bahasa provokatif bagi masyarakat kampung untuk ikut merantau, mengadu nasib di kota besar yang dianggap menjanjikan bagi kehidupan yang lebih baik.Tradisi mudik yang sejatinya menciptakan pemberdayaan justru melahirkan budaya masyarakat urban.
Hal lain yang sering mengemuka adalah halal bilhalal. Esensinya sangat baik, yakni saling maaf-memaafkan antar sesama. Pada awalnya, kegiatan ini kadangkala hanya prakarsa dari beberapa pihak yang bermateri lebih dengan berbagai motivasi. Ada yang memang murni bertujuan bersilaturrahmi tetapi banyak pula demi menunjukkan status sosial, popularitas, atau justru motivasi untuk mengembangkan bisnis dan kepentingan politik menjelang pemilu. Pada akhirnya tradisi yang bernilai keagamaan justru melahirkan sifat riya’ dengan menonjolkan kemampuan diri.
Pemaknaan Kembali Tradisi Lebaran
Tradisi lebaran yang terjadi dalam masyarakat kita kebanyakan telah terjebak pada kehidupan ’hedonisme baru’. Membungkus aktivitas yang bernuansa ritual, namun di dalamnya malah jauh dari nilai-nilai substansi ketauhidan.Tradisi lebaran yang semestinya melahirkan tanggung jawab sosial bagi mereka yang lebih ’berpunya’ terhadap mereka yang terkungkung kemiskinan, justru menampakkan keangkuhan diri. Idul Fitri sejatinya dapat menumbuhkan sifat yang dapat ’menafikan diri atas kebesaran Ilahi (fana fillah), malah memunculkan sifat ’ke-aku-an yang tinggi.
Sinergis konsepsi Kuntowijoyo yang membedah budaya masyarakat ke dalam budaya mesjid yang mengisyaratkan tradisi masyarakat yang bersih, penuh kejujuran, dan lepas dari sifat hedonis. Sedangkan budaya pasar yang merupakan paradoks dengan yang pertama. Kini, begitu kentalnya budaya pasar mengkaburkan budaya mesjid dalam berbagai bentuk aktivitas kehidupan.
Menciptakan dan kemudian membumikan tradisi lebaran dalam segala bentuk semestinya mampu didialogkan dengan kondisi kemanusiaan. Bagaimana dapat dihadirkan suatu ’makna baru’ yang sesuai dengan kondisi kehidupan. Dalam artian lebih praksisnya, lebaran bukan melarang tradisi mengenakan hal-hal yang baru, tetapi justru ke arah ” laisa al’id liman labisaa al-jadiid, waa lakinna al’iidi liman taqwa hu yaziid” (Idul Fitri bukan lagi orang-orang yang sekedar mengenakan baju baru, tetapi bagi yang takwanya bertambah).
Lebaran bukan melarang untuk berhalal bilhalal dan mudik tetapi bagaimana senantiasa tercipta kesadaran kolektif terhadap kemiskinan melalui gerakan pemberdayaan dan mampu menjadi pioner baru bagi pembebasan dengan penuh kebersamaan dan kesetaraan.
Semoga dengan merayakan lebaran tahun ini kita semua mampu memperbaiki kualitas hidup dan berperan aktif dalam membebaskan manusia dari kemiskinan, ketidakadilan, dan keterkungkungan tradisi yang tanpa makna. Allahuakbar Walillahilham.
* adalah Generasi Muda NU Kultural Non-Partisan
tinggal di Sumenep Madura. Email : imamsuhairi@gmail.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar