Minggu, 21 September 2008

artikel 3 : Mentransfer Nilai Pesantren

Mentransfer Nilai-Nilai Pesantren ke Sekolah Umum Oleh Imam Suhairi,S.Pd* Bagi saya pesantren tidak sekedar tempat mengajarkan dan mendidik anak didik tentang agama, lebih dari itu pesantren tempat bermukim dan sekaligus membumikan kultur “santri” bagi para anak didik. Santri pada aspek latar ekonomi biasanya anak-anak masyarakat yang secara ekonomi menengah ke bawah. Dari latar belakang budaya yang berbeda juga, sehingga dalam interaksinya saling bisa memahami dari satu budaya lainnya. Pada pengertian lain, santri adalah sosok insan yang sedang menuntut ilmu agama pada seorang kyai atau pengertian yang lebih ekstrim, bahwa santri (murid), mereka yang sedang menuju Allah dalam tariqahnya. Diyakini pesantren telah tumbuh menjadi lembaga non goverment yang membentuk penanaman nilai-nilai yang dapat diadopsi oleh lembaga-lembaga formal/umum, diantaranya : pertama, pesantren mempunyai nilai tradisi yang unik. Kurikulum pendidikan pesantren tidak hanya berorientasi penguasaan kitab kuning saja, tetapi lebih dari itu, melatih santri mengamalkan nilai-nilai ulama’ sholeh di keseharian mereka.Menjalankan hidup tirakat, sederhana, taat, dan jujur. Kedua, nilai-nilai pesantren dibangun secara tekstual dan kontekstual dari tafsir kitab suci. Ajaran pesantren menganjurkan sikap ikhlas beramal dan tujuan hidup manusia hanya mencari ridla Allah SWT Ke tiga,pesantren memiliki ciri khas metode pembelajaran,yakni sorogan, dan bandongan. Metode sorogan ini dilakukan dengan cara kiai/ustadz membacakan kitab dihadapan santri, kemudian santri membaca sendiri kitab mereka di hadapan para kiai/ustadz secara individual yang meniscayakan santri belajar mandiri menguasai kitab kuning. Metode bandongan dilakukan oleh kiai/ustadz membacakan kitab di hadapan sejumlah santri, kemudian santri menyimak dan mengartikan kitab tersebut dengan bahasa lokal. Keempat, Pesantren memegang nilai pengabdian memajukan umat. Kepedulian pesantren terhadap persoalan umat merupakan khazanah pesantren yang akan terus dihargai oleh masyarakat sekitar. Jika pihak pesantren peduli menyelesaikan persoalan masyarakat sekitar, tentu dengan sendirinya masyarakat akan turut serta memajukan pesantren. Nilai-nilai yang kosong dari sekolah-sekolah formal/umum, dapat mengadopsi tradisi dan nilai nilai pesantren. Dapat kita analisa, sekolah umum memerlukan guru yang benar-benar panutan/tauladan. Dibutuhkan guru yang benar-benar ikhlas, jujur, hidup sederhana, dan terbuka. Kenyataan di lapangan, guru (kyai/ustadz) pesantren lebih dihargai dan dihormati masyarakat daripada guru-guru sekolah umum. Perlunya mengembangkan metode pembelajaran menuju kemandirian intelektual, spiritual, emosional dan sosial anak didik. Ada sebutan di masyarakat kita, alumni pesantren lebih berani/siap untuk hidup apa adanya (qana’ah) tanpa menuntut banyak hal dalam hidup, dibanding dengan lulusan sekolah umum yang cenderung “gengsi dan tidak siap” untuk menjalani hidup sederhana. Hal lain yang urgen adalah menciptakan sekolah-sekolah umum menjadi “icon” dalam pengembangan masyarakat dengan penuh pengabdian. Bagi pesantren, masyarakat akan mudah dengan ikhlas menyumbangkan tenaga dan materinya. Semoga hal ini juga terbangun pada sekolah-sekolah umum, sehingga proyeksi tri tanggung jawab pendidikan oleh pemerintah, sekolah, dan masyarakat tidak sekedar wacana. *Adalah Alumni dan Pengurus Pesantren Kecil’ Salaf ’ Poja” Gapura Sumenep

Tidak ada komentar: