Senin, 22 September 2008
Trik : Kiat Presentasi Efektif
Dikutip detikINET dari TechRepublic, Jumat (28/3/2008), berikut tips & trick presentasi efektif dengan PowerPoint agar audiens Anda tertarik menyimak sampai acara berakhir.
1. Pakai Kalimat Sederhana
Aplikasi PowerPoint bukanlah aplikasi pengolah kata layaknya Microsoft Word. Untuk itu, pakai kalimat yang jelas dan seperlunya saja. Jangan pula menjejalkan terlalu banyak informasi dalam satu slide PowerPoint karena audiens mungkin akan kebingungan.
2. Gambar Bermakna Ribuan Kata
Pakai gambar atau ilustrasi yang benar-benar menarik di PowerPoint untuk menjelaskan presentasi Anda sehingga audiens mau menyimak dan mudah memahaminya. Namun jangan sampai pula resolusi gambar Anda pecah sehingga tampak menganggu.
3. Kuasai Topik Presentasi Secara Detail
Seringkali presentasi PowerPoint didesain secara cukup kompleks dalam banyak slide. Jangan sampai Anda gagap menjelaskan detail sekecil apapun dalam presentasi. Persiapkan diri dengan baik untuk membuat presentasi PowerPoint yang berkesan dan diterima audiens.
4. Berceritalah Saat Presentasi
Jangan hanya membacakan poin presentasi Anda secara monoton. Berceritalah! Ilustrasikan konten di PowerPoint Anda, misalnya dengan pengalaman hidup sehari-hari sehingga audiens dapat mencerna maksudnya dengan baik.
5. Konten Dalam Presentasi Sangat Penting
Pastikan konten yang Anda masukkan dalam presentasi PowerPoint Anda memang berguna bagi audiens. Jangan pula terlalu banyak menggunakan animasi atau efek-efek khusus karena selain bisa membosankan, hal ini bahkan bisa mengakibatkan presentasi Anda dianggap tidak serius.
6. Hargai Audiens Anda
Buat desain PowerPoint yang terlihat jelas, baik gambar maupun tulisannya. Pastikan kontras warna benar-benar tepat sehingga tidak menyakiti mata mereka yang melihatnya. Pastikan pula seluruh audiens dapat melihat konten dengan baik, meskipun mereka berada di jajaran paling belakang.
KIAT PRESENTASI EFEKTIF
a. Pendahuluan
Presentasi merupakan salah satu cara dalam upaya menjelaskan sesuatu topik atau bahasan tertentu dengan menggunakan (multi) media dalam waktu yang relatif singkat. Media yang dimaksud dapat berupa media tulisan, visual, verbal atau gabungan dari berbagai media (multi-media). Dengan kata lain, presentasi mestilah bertujuan untuk menyampaikan atau menjelaskan sesuatu bahasan dengan menggunakan alat peraga yang menyebabkan pembahasan tersebut menjadi sistematis, menarik dan mudah dimengerti.
Dalam dunia pendidikan orang dewasa presentasi merupakan cara yang paling banyak digemari oleh para instruktur (pengajar) karena pendekatan tersebut dapat dengan mudah dan efektif menjelaskan bahasan-bahasan yang kompleks dan rumit sedemikian rupa sehingga kegiatan belajar-mengajar menjadi tidak membosankan dan melelahkan.
b. Persiapan presentasi
1. Hal yang paling awal untuk dipersiapkan untuk melakukan presentasi adalah meyakinkan diri dengan pertanyaan berikut:
- Bahasan atau tema apa yang akan saya sampaikan ?
- Seberapa luas cakupan bahasan yang harus saya sampaikan dan berapa waktu yang tersedia ?
- Dapatkan saya membuat daftar poin-poin utama dari seluruh bahasan yang akan saya sampaikan ?
- Sudahkan saya mendapatkan cukup bahan (informasi) untuk mensupport bahasan yang akan saya sampaikan, seperti: data, argumentasi, contoh, dalil, kasus dsb ??
2. Mengetahui medan presentasi: siapa dan bagaimana karakteristik audience, berapa jumlah mereka, bagaimana struktur kelas dan tata ruang yang tersedia, fasilitas presentasi yang ada, serta waktu presentasi. Dengan mengetahui medan ini, paling tidak ada kesiapan antisipatif baik psikologis maupun teknis.
3. Menyiapkan alur dan struktur bahasan dengan mempertimbangkan waktu yang tersedia. Sebaiknya dilakukan persiapan rancangan alur pembahasan dalam draft yang ditulis dalam satu lembar kertas. Rancangan ini membantu menjaga sistematika dan efisiensi presentasi, sehingga tidak ‘terjebak’ membahas sesuatu yang jauh melenceng dari topik bahasan.
4. Menentukan cara dan media yang akan digunakan. Pada intinya, gunakanlah cara dan media yang paling komunikatif dan mudah difahami. Bila topik bahasan seputar konsep-konsep dan pengertian, maka pendekatan verbal menjadi pilihan yang memadai. Membuat makalah yang sistematis, jelas urut-urutan dan poin-poin bahasan menjadi tuntutan pokok. Apalagi bila disertai dengan ringkasan makalah yang disajikan di awal atau di akhir bahasan. Bila pokok bahasan menyangkut suatu kajian sebab-akibat, atau suatu proses (kejadian) pendekatan visual dengan gambar-gambar grafis yang relevan akan sangat membantu mempercepat pemahaman peserta didik.
c. Kiat-kiat Presentasi yang menarik
Agar presentasi menarik, hendaknya dilakukan hal-hal berikut:
1. Structure. Hendaknya bahan yang akan disampaikan tersusun secara sistematis dengan alur yang jelas dan mudah difahami. Bila bahan yang akan disampaikan sangat padat dengan masalah konsepsional dan teoritis, susunlah dengan bentuk sebagai berikut :
a. Pengantar :
- membangkitkan perhatian dan minat peserta
- memaparkan ikhtisar materi bahasan
b. Bagian utama :
- sejumlah judul utama (main points)
- beberapa sub judul
c. Kesimpulan :
- butir-butir atau catatan penting
- diskusi dan pertanyaan
2. Simple. Sampaikan penyajian dengan mudah dan tidak berbelit-belit. Hindari istilah-istilah yang sulit difahami, Gunakan kalimat-kalimat yang pendek, jelas dan bervariasi. Penyajian jadi sangat membosankan apabila penyaji sering menggunakan istilah-istilah yag berulang-ulang.
3. Surprise. Kesuksesan penyajian seringkali tergantung di titik awal penyampaian. Apabila kesan pertama penyajian menggoda, maka selanjutnya menjadi terserah anda. Oleh karena itu mulailah penyajian bahasan dengan sesuatu yang mengejutkan, memancing perhatian atau mengundang minat dan keseriusan. Gunakan kasus, data, gambar, games ataupun cerita mengenai sesuatu yang relevan dengan topik bahasan.
4. Support. Penyajian akan sangat menarik dan meyakinkan serta mudah difahami apabila disertai dengan ilustrasi dan hala-hal yang menunjang. Lengkapilah setiap sub bahasan dengan ilustrasi yang memadai dan relevan dalam bentuk kasus, contoh aplikatif, data dan fakta, dalil.
5. Shape. Penyajian akan menjadi enak dilihat apabila disampaikan dengan model tampilan hand out, skema, matriks atau grafis yang yang jelas, mudah dan menarik. Bentuk ini akan mempermudah pemahaman pada topik-topik bahasan yang padat dan kompleks.
6. Style. Gaya menyampaikan sungguh akan mempengaruhi keberhasilan penyampaian. Bila penyaji hanya duduk dan berbicara dengan nada yang datar atau monoton tentu akan sangat membosankan. Sebaiknya gaya penyampaian dilakukan dengan berbagai variasi gaya: kadang duduk, berdiri, jalan, menyapa dengan nada bicara yang ekspresif serta penuh semangat.
7. Smart-smile. Penampilan yang menarik hendaknya juga dipertimbangkan dalam menyampaikan sesuatu kepada sejumlah pendengar. Seringkali kesan pertama penyajian justeru muncul dari penampilan fisik si penyaji: pakaian, kerapihan dan kebersihan serta wewangian. Penampilan yang menarik akan menjadi optimal manakala dalam proses penyampaian, tercipta hubungan dan suasana yang interaktif antara penyaji dan pendengar. Munculkanlah suasana akrab dan hangat melalui teguran, sapaan, senyuman, pertanyaan, meminta tanggapan ataupun komentar mereka.
8. Show. Usahakanlah menggunakan media dan atau alat peraga yang memadai. Apakah dalam bentuk makalah, hand-out, flipp chart, papan tulis, transparancy-sheet, slide. Artinya, jangan hanya menggunakan lembar text-book yang merupakan bagian dari referensi yang digunakan.
9. Stop. Berhenti sejenak dengan joke atau selingan-selingan segar untuk memelihara konsentrasi dan perhatian pendengar, terutama apabila bobot topik bahasan berat dan sulit.
10. Summarize. Menentukan akhir presentasi yang mengesankan. Kiat menutup presentasi menjadi sangat menentukan keberhasilan menyampaikan bahasan. Presentasi hendaknya diakhiri dengan merangkum kembali secara utuh pokok bahasan yang telah disampaikan, sambil terus memberi kesempatan kepada audience untuk memperjelas hal-hal yang terlewat.
d. Penutup
Presentasi atau penyajian suatu topik bahasan pada intinya adalah seni untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada pendengar dengan tujuan agar mereka dapat dengan mudah memahaminya. Oleh karena itu keberhasilan presentasi selain ditentukan oleh keterampilan berbicara di depan publik dengan segala kreativitas dan gaya penyampaian, juga dipengaruhi oleh pengalaman atau jam terbang yang telah dikantongi presenter. Selain itu, kemauan dan kemampuan mempelajari metode-metode yang berkembang ataupun melihat, memperhatikan dan mempelajari orang-orang yang piawai dalam penyajian juga menjadi faktor penentu bagi kesuksesan presentasi.
Minggu, 21 September 2008
Model Model Pembelajaran
Sekilas Model-Model Pembelajaran
Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.
1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.
2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).
3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).
Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
4. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, atau algoritma). Sintaknya adalah: sajiakn permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau atuiran yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.
5. Problem Posing
Problem posing yaitu pemecahan masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.
6. Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjtynya siswa juda diinta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Denga demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentiuk pola piker, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.
Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitakkan dengan materui selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat reson siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.
7. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan engetahuan sisap siswa dan engalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksiu konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari prses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi sausana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi
Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.
Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (199 mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.
Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.
SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.
TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:
a.Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b.Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.
c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.
e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.
VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.
AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.
TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.
STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.
NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.
Jigsaw
Model pembeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks sepeerti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tuiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok aasal, pelaksnaa tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi
CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.
TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.
TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.
CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.
SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh
SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.
MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembnelajaran yang mengutamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep
KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.
CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.
DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah tersebut.
Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.
DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.
CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.
IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya
Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukartan pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.
Artikulasi
Artikulasi adalah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.
Debate
Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.
Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.
Talking Stick
Sintak p[embelajana ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.
Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyuimpulan, refleksi dan evaluasi
Student Facilitator and Explaining
Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.
Course Review Horay
Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
Demonstration
Pembelajaran ini khusu untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
Explicit Instruction
Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan procedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
Scramble
Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.
Pair Checks
Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
Make-A Match
Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk badak berikutnya pembelajaran seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
Mind Mapping
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan membuat berbagai alternatiu jawababn, presentasi hasuil diskusi kelompok, siswa membuat kesimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.
Examples Non Examples
Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, valuasi dan refleksi.
Picture and Picture
Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.
Cooperative Script
Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.
LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bersifat tuntunan dalam rangaka solusi masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.
Improve
Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latian dan bertanya, balikan-perbnaikan-pengayaan-interaksi.
Generatif
Generatif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep awal, tantangan dan restruturisasi sajiankonsep, aplikasi, ranguman, evaluasi, dan refleksi
Circuit Learning
Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan focus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi
Complete Sentence
Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintakas: sisapkan blanko isian berupa aparagraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.
Concept Sentence
Prosedurnya adalah penyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tia kelompok membeuat kalimat berdasarkankata kunci, presentasi.
Time Token
Model ini digunakan untuk melatih dan mengembangkan ketrampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.
Take and Give
Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang berisi nama siswa - bahan belajar - dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi
Superitem
Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari simpel ke kompleks, berupa opemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan sal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.
Hibrid
Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.
Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urun ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.
Kumon
Pembelajaran dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.
Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.
Rumus quantum fisika asdalah E = mc2, dengan E = energi yang diartikan sukses, m = massa yaitu potensi diri (akal-rasa-fisik-religi), c = communication, optimalkan komunikasi + dengan aktivitas optimal.
Reorientasi Nilai Tradisi Lebaran
Reorientasi Nilai Tradisi Lebaran
Oleh
Imam Suhairi*
Suasana suka cita bercampur cemas menyambut datangnya sang fajar Idul Fitri terasa dimana-mana. Sikap cemas mengingat sabda Rasulullah SAW “ kam min shaaimin laisa lahuu min shaumihii illa al-ju’wa al ‘atas” (banyak orang yang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga). Statemen nabi tersebut, tidak hanya berimplikasi spiritual semata, tetapi juga berdimensi sosial.Orang yang bertakwa akan selalu memberikan empowering bagi masyarakat lingkungannya. Masyarakat akan merasa terayomi dengan kehadirannya dengan suasana kebersamaan dan keterbukaan. Komunitas semacam inilah yang ideal bagi aktivitas lebaran masyarakat kita.
Tetapi aktivitas lebaran kita sampai hari ini lebih menampakkan diri dalam bentuk “elitisme” hari raya, yang mengarah pada ketidakadilan etika sosial. Ada disparitas yang timpang dalam tradisi lebaran yang harus dikaji ulang dan dikembalikan pada nilai asalnya.
Tradisi Serba Baru
Setiap datang Hari Raya Idul Fitri yang nampak di masyarakat kita tradisi serba baru. Hampir seluruh masyarakat disibukkan dengan memborong baju baru, sarung baru, sandal baru, dan belanjaan lain yang dianggap baru. Terkonstruk dalam benak masyarakat, bahwa lebaran harus mengenakan barang yang baru dibeli.
Fenomena ini tidak dapat disalahkan begitu saja, meskipun telah terjebak pada suasana ‘konsumerisme’ berlebihan. Yang terjadi berikutnya saling unjuk kekuatan antar kaum bourjuis memborong barang-barang apa saja yang lebih terkesan ‘lux’ dibandingkan dengan kaum menengah yang dapat membeli barang “itu-itu saja” atau bahkan kaum proletar yang mungkin tidak dapat mengganti baju baru lebaran, karena hanya cukup untuk bertahan hidup.
Akibatnya, kita hampir melupakan sebagian kelompok masyarakat yang sedang berada dalam kepedihan akibat kemiskinan yang terus-menerus mendera ditengah-tengah kemeriahan artifisial ini.
Tradisi Mudik dan Halal bilhalal
Dalam banyak hal, tradisi mudik secara psikologis mengobati rindu yang terpendam beberapa lama pada sanak keluarga dan kampung halaman. Mereka saling bercengkrama dengan bebas untuk saling sharing pengalaman, meskipun kita yakin para pemudik yang akan mendominasi komunikasi karena dinilai lebih punya pengalaman.Fenomena mudik lebaran setidaknya telah melahirkan hegemoni status sosial tertentu dalam masyarakat kita. Dari segi bahasa saja yang dipakai yakni 'pulang kampung' mengisyaratkan ’kampung’ mengalami subordinat dengan kota.
Para perantau telah sedikit melupakan asal-usul, dan kultur aslinya.Bila sebelumnya aspek kekerabatan dan solidaritas lebih diutamakan, kini mereka lebih mementingkan karir pekerjaan dan materi. Secara tidak sadar, para pemudik telah membawa ’ideologi’ baru ke kampung asal mereka. Falsafah orang kampung (Madura) ”ngakan ta’ngakan asal akompol” ( makan tidak makan asal berkumpul) yang bisa dimaknai bahwa solidaritas sosial dan rasa kekeluargaan itu di atas segalanya daripada sekedar mencari materi, tidak lagi berbekas.
Problem baru yang muncul, antara lain : (1) masyarakat yang ditinggalkan akan tercipta ketergantungan yang terus-menerus kepada sanak-keluarganya yang sukses di perantauan.Yang ke (2), tradisi mudik telah menciptakan bahasa provokatif bagi masyarakat kampung untuk ikut merantau, mengadu nasib di kota besar yang dianggap menjanjikan bagi kehidupan yang lebih baik.Tradisi mudik yang sejatinya menciptakan pemberdayaan justru melahirkan budaya masyarakat urban.
Hal lain yang sering mengemuka adalah halal bilhalal. Esensinya sangat baik, yakni saling maaf-memaafkan antar sesama. Pada awalnya, kegiatan ini kadangkala hanya prakarsa dari beberapa pihak yang bermateri lebih dengan berbagai motivasi. Ada yang memang murni bertujuan bersilaturrahmi tetapi banyak pula demi menunjukkan status sosial, popularitas, atau justru motivasi untuk mengembangkan bisnis dan kepentingan politik menjelang pemilu. Pada akhirnya tradisi yang bernilai keagamaan justru melahirkan sifat riya’ dengan menonjolkan kemampuan diri.
Pemaknaan Kembali Tradisi Lebaran
Tradisi lebaran yang terjadi dalam masyarakat kita kebanyakan telah terjebak pada kehidupan ’hedonisme baru’. Membungkus aktivitas yang bernuansa ritual, namun di dalamnya malah jauh dari nilai-nilai substansi ketauhidan.Tradisi lebaran yang semestinya melahirkan tanggung jawab sosial bagi mereka yang lebih ’berpunya’ terhadap mereka yang terkungkung kemiskinan, justru menampakkan keangkuhan diri. Idul Fitri sejatinya dapat menumbuhkan sifat yang dapat ’menafikan diri atas kebesaran Ilahi (fana fillah), malah memunculkan sifat ’ke-aku-an yang tinggi.
Sinergis konsepsi Kuntowijoyo yang membedah budaya masyarakat ke dalam budaya mesjid yang mengisyaratkan tradisi masyarakat yang bersih, penuh kejujuran, dan lepas dari sifat hedonis. Sedangkan budaya pasar yang merupakan paradoks dengan yang pertama. Kini, begitu kentalnya budaya pasar mengkaburkan budaya mesjid dalam berbagai bentuk aktivitas kehidupan.
Menciptakan dan kemudian membumikan tradisi lebaran dalam segala bentuk semestinya mampu didialogkan dengan kondisi kemanusiaan. Bagaimana dapat dihadirkan suatu ’makna baru’ yang sesuai dengan kondisi kehidupan. Dalam artian lebih praksisnya, lebaran bukan melarang tradisi mengenakan hal-hal yang baru, tetapi justru ke arah ” laisa al’id liman labisaa al-jadiid, waa lakinna al’iidi liman taqwa hu yaziid” (Idul Fitri bukan lagi orang-orang yang sekedar mengenakan baju baru, tetapi bagi yang takwanya bertambah).
Lebaran bukan melarang untuk berhalal bilhalal dan mudik tetapi bagaimana senantiasa tercipta kesadaran kolektif terhadap kemiskinan melalui gerakan pemberdayaan dan mampu menjadi pioner baru bagi pembebasan dengan penuh kebersamaan dan kesetaraan.
Semoga dengan merayakan lebaran tahun ini kita semua mampu memperbaiki kualitas hidup dan berperan aktif dalam membebaskan manusia dari kemiskinan, ketidakadilan, dan keterkungkungan tradisi yang tanpa makna. Allahuakbar Walillahilham.
* adalah Generasi Muda NU Kultural Non-Partisan
tinggal di Sumenep Madura. Email : imamsuhairi@gmail.com
artikel 3 : Mentransfer Nilai Pesantren
Mentransfer Nilai-Nilai Pesantren ke Sekolah Umum
Oleh
Imam Suhairi,S.Pd*
Bagi saya pesantren tidak sekedar tempat mengajarkan dan mendidik anak didik tentang agama, lebih dari itu pesantren tempat bermukim dan sekaligus membumikan kultur “santri” bagi para anak didik. Santri pada aspek latar ekonomi biasanya anak-anak masyarakat yang secara ekonomi menengah ke bawah. Dari latar belakang budaya yang berbeda juga, sehingga dalam interaksinya saling bisa memahami dari satu budaya lainnya. Pada pengertian lain, santri adalah sosok insan yang sedang menuntut ilmu agama pada seorang kyai atau pengertian yang lebih ekstrim, bahwa santri (murid), mereka yang sedang menuju Allah dalam tariqahnya.
Diyakini pesantren telah tumbuh menjadi lembaga non goverment yang membentuk penanaman nilai-nilai yang dapat diadopsi oleh lembaga-lembaga formal/umum, diantaranya : pertama, pesantren mempunyai nilai tradisi yang unik. Kurikulum pendidikan pesantren tidak hanya berorientasi penguasaan kitab kuning saja, tetapi lebih dari itu, melatih santri mengamalkan nilai-nilai ulama’ sholeh di keseharian mereka.Menjalankan hidup tirakat, sederhana, taat, dan jujur. Kedua, nilai-nilai pesantren dibangun secara tekstual dan kontekstual dari tafsir kitab suci. Ajaran pesantren menganjurkan sikap ikhlas beramal dan tujuan hidup manusia hanya mencari ridla Allah SWT
Ke tiga,pesantren memiliki ciri khas metode pembelajaran,yakni sorogan, dan
bandongan. Metode sorogan ini dilakukan dengan cara kiai/ustadz membacakan kitab dihadapan santri, kemudian santri membaca sendiri kitab mereka di hadapan para kiai/ustadz secara individual yang meniscayakan santri belajar mandiri menguasai kitab kuning. Metode bandongan dilakukan oleh kiai/ustadz membacakan kitab di hadapan sejumlah santri, kemudian santri menyimak dan mengartikan kitab tersebut dengan bahasa lokal. Keempat, Pesantren memegang nilai pengabdian memajukan umat. Kepedulian pesantren terhadap persoalan umat merupakan khazanah pesantren yang akan terus dihargai oleh masyarakat sekitar. Jika pihak pesantren peduli menyelesaikan persoalan masyarakat sekitar, tentu dengan sendirinya masyarakat akan turut serta memajukan pesantren.
Nilai-nilai yang kosong dari sekolah-sekolah formal/umum, dapat mengadopsi tradisi dan nilai nilai pesantren. Dapat kita analisa, sekolah umum memerlukan guru yang benar-benar panutan/tauladan. Dibutuhkan guru yang benar-benar ikhlas, jujur, hidup sederhana, dan terbuka. Kenyataan di lapangan, guru (kyai/ustadz) pesantren lebih dihargai dan dihormati masyarakat daripada guru-guru sekolah umum.
Perlunya mengembangkan metode pembelajaran menuju kemandirian intelektual, spiritual, emosional dan sosial anak didik. Ada sebutan di masyarakat kita, alumni pesantren lebih berani/siap untuk hidup apa adanya (qana’ah) tanpa menuntut banyak hal dalam hidup, dibanding dengan lulusan sekolah umum yang cenderung “gengsi dan tidak siap” untuk menjalani hidup sederhana.
Hal lain yang urgen adalah menciptakan sekolah-sekolah umum menjadi “icon” dalam pengembangan masyarakat dengan penuh pengabdian. Bagi pesantren, masyarakat akan mudah dengan ikhlas menyumbangkan tenaga dan materinya. Semoga hal ini juga terbangun pada sekolah-sekolah umum, sehingga proyeksi tri tanggung jawab pendidikan oleh pemerintah, sekolah, dan masyarakat tidak sekedar wacana.
*Adalah Alumni dan Pengurus Pesantren Kecil’ Salaf ’
Poja” Gapura Sumenep
artikel 2 : Menggagas Pembelajaran Internet di Kepulauan
Menggagas Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi di Sekolah Kepulauan
(Upaya Mencetak Generasi Cakap dan Mandiri)
A.PENDAHULUAN
Globalisasi di semua aspek kehidupan tidak dapat dibendung lagi. Hal ini terbukti dengan semakin tidak adanya garis pembatas antar negara dan bangsa. Sekat-sekat ekonomi, politik, sosial, budaya, dan bahkan perkembangan teknologi saling mengikat satu sama lain dalam setiap interaksi kehidupan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketergantungan antar negara dan bangsa semakin menampakkan gaungnya melalui kemajuan teknologi informasi. Negara dan bangsa di dunia terus membutuhkan informasi antar pihak. Kondisi saling butuh informasi ini juga telah merambah dunia pendidikan. Dekade terakhir ini tengah gencar diciptakan pendidikan berbasis teknologi informasi. Pada pokoknya visi dan misi pendidikan setiap lembaga yang dirumuskan salah satunya akan selalu berorientasi pada ICT (Information & Communication Technologi).
Aktualisasinya di wilayah konkret seperti yang termaktub dalam Visi SMA Negeri 1 Arjasa yakni “mantap dalam imtaq, unggul dalam iptek dengan berbasis nilai-nilai dan potensi lokal”. Hal tersebut kemudian dicanangkan dalam sejumlah Misi sekolah yang diantaranya adalah melakukan pelatihan untuk membentuk peserta didik memiliki kecapakan hidup menuju mandiri dan melakukan penataan prasarana dan sarana yang berbasis pada Information, Communication, and Technologi (Visi-Misi SMAN 1 Arjasa,2007).
Faktanya ditandai dengan kehadiran mata pelajaran baru dalam sekolah yakni ICT atau lebih dikenal sebutan TIK (Teknologi informasi dan komunikasi). Melalui pembelajaran TIK diharapkan siswa tidak gagap akan kehadiran perkembangan teknologi yang setiap saat berubah.
Siswa sebagai pembelajar dengan kehadiran teknologi informasi di lingkungan belajar semacam internet dapat mengakses banyak hal. Siswa dapat mengembangkan perbendaharaan informasi, yang pada akhirnya diharapkan mampu membuka cakrawala berpikir lebih maju. Dalam konteks ini teknologi informasi semacam internet menjadi alat yang sangat penting untuk transfer pengetahuan atau pengajaran dan pelatihan yakni “menggiring kedalam” (Outside in) segala informasi dari luar (wienarti,2007).
Kehadiran teknologi informasi (internet) dalam kehidupan siswa sebagai pelajar adalah hal yang niscaya. Dikarenakan sumber acuan memperoleh informasi berupa pengetahuan dalam konteks kekinian tidak hanya berasal dari satu arah yakni guru sebagai pengajar di kelas, tetapi banyak sumber. Sebut saja misalnya media televisi dan radio yang menyajikan informasi dan pengetahuan. Kemudian media cetak seperti koran dan majalah yang lebih luas pembahasannya. Sekarang ada internet yang dapat dimanfaatkan untuk banyak hal dalam memperoleh informasi dan dalam memperkenalkan kita dan sekolah ke dunia luar.
Banyak sekolah yang telah mulai memprogram kegiatan intra dan ekstra sekolah yang mengarah pada kegiatan teknologi informasi. Di sekolah-sekolah perkotaan menjadi hal yang biasa mengakses informasi melalui internet di sekolahnya untuk dijadikan bahan belajar dan diskusi. Berbagai perangkat komputer telah disiapkan untuk saling berbagi informasi dengan siapa saja yang butuh.
Untuk sekolah-sekolah perkotaaan dan (daratan) Sumenep dapat dengan mudah diaplikasikan, tetapi kenyataan di sekolah-sekolah kepulauan Kabupaten Sumenep misalnya, internet baru sekedar wacana dan impian yang tidak tahu kapan dapat direalisasikan.
Kesiapan siswa untuk belajar dan tahu banyak di sekolah dengan mudah mengakses informasi melalui internet ternyata belum didukung oleh fasilitas yang memadai. Sekolah di Kepulauan Sumenep masih jauh tertinggal dari daratan (kota) dalam hal akses teknologi informasi. Untuk “tahu” informasi harus datang ke Kota (daratan) yang tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar.
Untuk itu penting artinya bagi siswa di kepulauan untuk dapat mengakses informasi dan mengirim informasi dengan cepat melalui internet. Kehadiran internet dalam pembelajaran di sekolah dan luar sekolah diyakini dapat membuat siswa berdaya dalam banyak hal. Dunia pendidikan kita akan lebih berdaya seiring dengan kemajuan teknologi.
Urgensi kehadiran teknologi informasi inilah yang kemudian memunculkan berbagai permasalahan dalam kajian ini yakni : (1) bagaimanakah pembelajaran berbasis teknologi informasi di sekolah kepulauan dapat terealisasi?; (2) bagaimanakah dampak pembelajaran berbasis teknologi informasi bagi siswa?. Tentu diharapkan dalam kajian selanjutnya terpaparkan realisasi pembelajaran berbasis teknologi di kepulauan dan dampak pembelajaran berbasis teknologi informasi bagi pemberdayaan siswa.
B. PROBLEM PEMBELAJARAN INTERNET DI KEPULAUAN
Visi besar pendidikan yang termaktub dalam visi-misi SMA Negeri 1 Arjasa “mantap dalam imtaq, unggul dalam iptek dengan berbasis nilai-nilai dan potensi lokal”. Hal tersebut tentu tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah sejenis di kepulauan Sumenep mulai dari Sapudi, Raas, Masalembu, Sapeken, dan Kangean sendiri. Tentunya visi tersebut tidak sekedar pajangan yang tanpa makna bagi dunia pendidikan. Keinginan agar lulusan sekolah kepulauan juga dapat mempunyai kemampuan daya saing di era teknologi informasi sebuah keniscayaan yang harus terus diperjuangkan.
Upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM) di kepulauan memang mengalami sedikit stagnasi (kemandegan) khususnya dalam pengembangan teknologi informasi . Siswa dan lulusan kepulauan akan sedikit “gagap” teknologi ketika telah membaur dengan pelajar dan lulusan sekolah perkotaan. Mereka juga akan dilihat sebelah mata dengan komunitas masyarakat kota, karena dianggap jauh dari akses informasi dan teknologi. Mereka harus belajar dari awal tentang perkembangan dan mengoperasikan perangkat hasil perkembangan teknologi di sekolah dan perguruan tinggi di kota.
Menurut pengamatan penulis, guru yang berasal dari daratan (kota) yang telah paham tentang teknologi informasi dalam praktiknya sedikit kesulitan untuk memberikan pemahaman dan praktik mengoperasikan perangkat teknologi informasi kepada siswa. Dalam pembelajaran dan berbagai kesempatan lain, guru hanya bisa memberikan gambaran tentang internet. Siswa terus diberi motivasi untuk tidak putus asa dan dianjurkan untuk ke daratan (kota) apabila ada kesempatan untuk belajar internet. Pemahaman siswa kebanyakan hanya dapat diaplikasikan pada perangkat fasilitas handphone yang multi fungsi dan dapat mengakses internet, itupun hanya terbatas pada operator tertentu saja dan sangat terbatas serta mahal.
Ada banyak faktor yang menjadi penghambat pengembangan internet dalam sekolah di kepulauan. Faktor kendala tersebut menurut hemat penulis dapat dipilah faktor fisik dan yang bersifat psikis.
Faktor fisik diantaranya :
1.Letak geografis yang kurang menguntungkan.
Letak kepulauan yang tersebar sangat sulit untuk dijangkau transportasi dengan mudah dan cepat. Akhirnya arus informasi dan segala perkembangannya juga akan terhambat masuk kepulauan. Sampai saat ini belum ada alat transportasi laut dan udara yang memadai dan cepat mengakses kepulauan.
2. Fasilitas belajar yang kurang memadai.
Seperti diketahui dan bukan lagi rahasia umum bahwa sekolah-sekolah kepulauan dibandingkan dengan sekolah kota (daratan) dari segi fasilitas tertinggal. Di sekolah kepulauan mayoritas tidak dapat mengembangkan pembelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) lebih jauh sampai jaringan internet, dikarenakan fasilitas internet memang tidak ada. Lagi pula tidak ada provider yang menjangkau daerah kepulauan dan dapat memberikan layanan akses internet (Kadir, 2008). Pembelajaran TIK hanya terbatas pada pengenalan komputer dan program office (word, exel, dan power point). Tentu yang lebih memprihatinkan adalah ruang dan perangkat komputer juga sangat terbatas. Dapat dibayangkan 2 atau 3 komputer untuk praktikum sebanyak 35 – 40 siswa.
3. Aliran listrik yang terbatas.
Aliran listrik di kepulauan rata-rata tidak lebih 12 jam operasionalnya.Itu pun hanya berlangsung pada malam hari saja. Fasilitas listrik bagi masyarakat kepulauan dari PLN baru pada fungsi penerangan bukan pada hal-hal yang lebih jauh, seperti untuk industri dan pendidikan. Terbatasnya listrik ini tentu sangat berdampak pada minimnya operasional teknologi semacam komputer.
Selain persoalan klasik yang bersifat fisik di atas ada hal-hal penghambat yang bersifat psikis, yang kalau dicermati meliputi :
1.Sumber daya yang kurang .
Meskipun misalnya perangkat dan jaringan internet memadai, namun kurang ditunjang oleh sumber daya yang handal dapat mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat pendidikan di Kepulauan. Dekade terakhir memang banyak warga asli kepulauan yang telah berhasil dalam menimba ilmu tentang teknologi informasi di kota-kota besar, namun problemnya adalah mereka tidak mau kembali lagi ke tanah kelahirannya karena alasan pekerjaan dan lebih betah tinggal di kota (daratan).
Tentu guru yang pas sesuai dengan bidang teknologi informasi hampir tidak dapat ditemukan di sekolah-sekolah kepulauan. Guru pengajar TIK di kepulauan mengajar hanya sekedar tahu (bukan ahli) dalam bidangnya.
2.Motivasi belajar sebagian siswa yang minim
Motivasi merupakan suatu perubahan energy di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan rekasi untuk mencapai tujuan (Oemar Hamalik dalam Djamarah,2002:114). Padahal motivasi dalam belajar berfungsi untuk mendorong dan penggerak dalam tingkah laku (perbuatan).
Tidak termotivasinya sebagian siswa dalam belajar TIK menurut pengamatan penulis disebabakan oleh beberapa hal yakni : (1) sebagian siswa merasa tidak kebagian komputer karena harus rebutan dengan teman yang lain, karena hanya ada 3 (tiga) unit komputer untuk praktik secara bergantian; (2) sebagian siswa jenuh dan bosan dengan pelajaran TIK yang materinya sebagian telah dipahami, seperti : Ms.Word, Excel, Power point.
3.Budaya yang masih cenderung eksklusif (tertutup)
Kecenderungan sebagian masyarakat kita yang masih menilai pada sisi negatif kehadiran perkembangan teknologi, termasuk teknologi informasi. Hal tersebut semakin diperparah misalnya dengan kasus-kasus siswa yang bermasalah di sekolah yang membawa hand phone didalamnya terdapat gambar-gambar dan film porno. Akibatnya, sekolah melarang keras membawa hand phone ke sekolah apapun alasannya.
Ada keyakinan yang cukup kuat dalam benak masyarakat dan bahkan kalangan pendidik, bahwa alat informasi dan komunikasi semacam hand phone multimedia akan lebih membawa dampak buruk bagi siswa dibandingkan dengan sisi baiknya. Pola pikir semacam ini terkonstruk sedemikian kuat bahwa kehadiran teknologi informasi semacam internet nantinya akan memperburuk moralitas pelajar. Diyakini mereka akan lebih membuka dan mencari situs-situs porno dibandingkan mencari informasi pengetahuan.
C. IDE PEMBELAJARAN BERBASIS INTERNET DI KEPULAUAN
Internet yang merupakan kepanjangan dari Interconection Networking atau juga telah menjadi International Networking merupakan suatu jaringan yang menghubungkan komputer di seluruh dunia tanpa dibatasi oleh jumlah unit menjadi satu jaringan yang bisa mengakses satu sama lain (Harisanty, 2006). Dengan internet tersebut, satu komputer dapat berkomunikasi secara langsung dengan komputer lain di berbagai belahan dunia. Satu hal yang merupakan kelebihan internet dibanding media lainnya adalah dalam hal ini internet dapat menembus batas ruang dan waktu. Internet juga dapat menembus dimensi kehidupan pemakainya.
Internet dapat dijadikan alat (media) belajar bagi siswa yang cukup baru dan menyenangkan. Dengan akses internet di sekolah proses belajar tidak dititik beratkan di kelas, namun siswa dituntut untuk belajar mandiri, dapat membantu siswa lebih memahami mata pelajaran dan penambahan wawasan siswa.
Untuk konteks sekolah kepulauan langkah awal tidak menuntut terlalu banyak hal, seperti adanya perangkat internet di setiap kelas. Barangkali cukup dengan membuka ruang internet atau warung internet (warnet) di lingkungan sekolah yang dapat dimanfaatkan siswa dalam belajar.
Dalam tataran praktisnya, siswa dapat memanfaatkan akses internet pada jam istirahat di sekolah hal-hal yang menjadi kebutuhannya dalam pembelajaran dan khazanah lainnya. Kegiatan siswa ini tetap mendapat pengawasan dari guru yang mengelola ruang internet tersebut. Begitu pula saat jam belajar, guru dapat mengajak siswa belajar di ruang internet. Siswa juga dapat mengakses di luar jam pelajaran, sore atau malam hari.
Mengkonkretkan ide di atas di sekolah-sekolah kepulauan bukan persoalan mudah. Banyak hal yang perlu disiapkan, seperti sarana arus listrik yang stabil dan baik, ruang dan perangkat komputer dan fasilitas internet yang representatif. Pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya teknologi informasi juga perlu dilakukan sejak awal. Disamping juga kebijakan pengelolaan yang baik, dan kesiapan guru serta siswa untuk mengoperasikannya.
D. INTERNET : MENCETAK KECAKAPAN DAN KEMANDIRIAN
UU Nomor 20. Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara . Jadi pada akhimya tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik agar mampu mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.
Bertolak dari paparan di atas, kehadiran teknologi internet yang pada hakikatnya merupakan perkembangan dari teknologi komunikasi generasi sebelumnya. Media seperti radio, televisi, video, multimedia, dan media lainnya dapat membantu meningkatkan mutu pendidikan. Apalagi media internet yang memiliki sifat interaktif, bisa sebagai media masa dan interpersonal, dan gudangnya sumber informasi dari berbagai penjuru dunia, sangat dimungkinkan menjadi media pendidikan lebih unggul dari generasi sebelumnya. Internet akan menjadi wakil guru dan siswa, sekaligus suplemen (vitamin) proses pembelajaran.
Meskipun menurut wienarti (2007) internet sama sekali tidak membuat manusia menjadi lebih bermoral dan berkarakter atau berbudi pekerti luhur, Internet hanya dapat memintarkan (visi pengajaran). Namun siswa pada akhirnya akan memiliki kecakapan atau terampil dalam banyak hal. Cakap dalam mengopresikan perangkat teknologi informasi, terampil dalam memperoleh dan mengolah informasi, dan cakap untuk membuat inovasi-inovasi baru yang bermanfaat dalam hidupnya.
Dengan pembelajaran berbasis internet, siswa diajarkan untuk belajar mandiri. Kemandirian yang dimaksud, dimulai dengan berupaya sendiri secara mahir mencari informasi pengetahuan dengan mengaskes internet, mengolahnya, dan secara mandiri pula mengaitkan dengan ilmu pengetahuan yang telah diterima.
Kemahiran dalam bidang teknologi, khususnya TIK sebagai syarat esensial untuk memasuki lapangan kerja, sehingga siswa menjadi seorang entrepreneur ( mampu berwira usaha) yang secara mandiri dapat memanfaatkan teknologi dalam menyelesaikan permasalahannya (Arifin,2008).
Dalam konteks ini siswa memiliki kecakapan (skill) dan kemandirian menciptakan lapangan kerja bagi dirinya dan masyarakat lingkungannya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
E. PENUTUP
Gagasan tentang perlunya menciptakan pembelajaran berbasis teknologi informasi di sekolah kepulauan sangat mendesak untuk direalisasikan. Memang banyak faktor yang menjadi penghambat baik secara psikis dan fisik, namun hal-hal tersebut akan dengan mudah dilalui apabila ada keinginan semua pihak, termasuk di dalamnya peran pemerintah. Sumber utama berupa motivasi masyarakat pendidikan di kepulauan akan hadirnya kemajuan teknologi informasi menjadi modal utama terealisasinya ide besar ini.
Motivasi agar siswa di kepulauan juga dapat mengenyam pendidikan yang berbasis teknologi informasi layaknya sekolah-sekolah yang telah maju. Disamping juga keinginan agar siswa dapat Mentradisikan konsep tersebut sangat urgen dilakukan agar siswa kepulauan juga dapat mempunyai kemampuan daya saing dan mampu secara mandiri menciptakan lapangan kerja yang akhirnya bermanfaat bagi masyarakat lingkungannya.
Untuk itu disarankan kepada pemerintah yang terkait untuk secepatnya merealisasikan program internet masuk sekolah termasuk di kepulauan. Sementara sekolah bersama masyarakat hendaknya menyiapkan diri baik mental dan material melalui kebijakan yang mendukung. Siswa sendiri seharusnya lebih termotivasi secara mandiri belajar mengenal dan mengoperasikan perangkat teknologi informasi.
Minggu, 14 September 2008
ARTIKEL 1 ' Kontruksi Humor dalam Pembelajaran
Konstruksi Humor dalam Pembelajaran
(Metode Alternartif Mewujudkan Demokratisasi, Motivasi, dan Prestasi Belajar)
Oleh
Imam Suhairi, S.Pd
Pengantar
Perubahan paradigma menggema di seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan lebih diorientasikan menghasilkan pribadi yang mandiri, memiliki harga diri, tumbuh dan berkembang untuk menggapai masa depan. Hal tersebut sinergis secara maknawi seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) bahwa “ pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulai, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (UU RI No. 20 Tahun 2003).
Selanjutnya, proses pendidikan di semua lini dan jenjang pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (Pasal 4 UU No.20 Tahun 2003).
Tentu dalam konteks selanjutnya pendidikan harus diselenggarakan dalam upaya memberdayakan semua komponen bangsa secara berkualitas. Berkualitas dalam arti mampu bersifat adaptif terhadap kemajuan dan perkembangan zaman. Pendidikan akan dituntut lebih mengarah pada penguasaan informasi dan teknologi yang semakin mengglobal. Pendidikan pada penyelenggaraannya akan bersifat humanis dan plural, jauh dari diskriminasi ras, golongan, kesukuan, dan sektarianisme. Semua elemen anak bangsa dituntut untuk dapat berkesempatan sama memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.
Pendidikan dari semua jenis dan tingkatan, meminjam konsep KH. Idris Jauhari (dalam Jurnal Edukasi Edisi 08, 2007) harus mampu bertindak sebagai agen pembebasan peserta didik dari berbagai belenggu, agen pemberdayaan, dan pembudayaan. Selanjutnya pendidikan semestinya mencakup upaya pewarisan nilai-nilai, transformasi ilmu pengetahuan dan keterampilan. Mencakup ranah afektif, ranah kognitif,dan psikomotorik, mengarah pada terciptanya kecerdasan intelektual, spiritual,dan emosional. Pendidikan harus mencakup seluruh aspek kemanusian (humanis), dan akhirnya sebagai landasan utama, pendidikan semestinya dibangun berdasarkan pada ayat-ayat Allah SWT dan tauladan nabi.
Untuk itulah diperlukan strategi pembelajaran yang mengarah pada pembentukan kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah bagaimana dapat berpikir kreatif, produktif, bagaimana dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan upaya pengelolaan diri dan pengendaliannya. Siswa sebagai pembelajar berada memasuki kawasan pengetahuan maupun penerapan pengetahuan yang didapatkan melalui pembelajaran. Kompetensi siswa menyangkut ability, skill, knowledge akan terbangun dan berkembang melalui proses pembelajaran.
Meskipun telah dilakukan pembenahan sistem pendidikan dari semua lini, mulai dari pembaharuan dalam bidang kurikulum dari CBSA, KBK, dan terakhir KTSP. Kemudian sistem pengelolaan sekolah yang lebih terbuka dan aspiratif dengan penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Manajemen pembelajaran yang lebih inovatif sampai pada upaya mendongkrak profesionalisme guru dan pengelolaan pendidikan melalui sertifikasi guru. Tetapi sampai hari ini masih banyak problem di lapangan yang menghadang dunia pendidikan dan pembelajaran.
Problem Pembelajaran; Sebuah Realitas
Problem yang sering terjadi dalam aktifitas pembelajaran adalah jenuhnya siswa dalam keterjebakan rutinitas yang mereka jalani setiap hari. Bayangkan tiap hari mereka harus dipaksa untuk menelan materi pelajaran tanpa terukur berapa kuat kemampuan mengingat, menyimpan, dan menganalisa materi pelajaran. Bisa jadi tiap hari sampai 4 (empat) sampai 5 (lima) materi, mulai dari pagi jam 07.00 sampai siang atau sore. Siswa akan terasa sedikit fresh ketika hanya pada awal-awal pelajaran, setelah itu mereka akan kehilangan semangat belajar karena otak dan memori mereka telah penuh.
Hal lain yang sering terjadi adalah motivasi belajar siswa yang semakin cenderung menurun. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor, internal maupun eksternal. Rendahnya motivasi ini bisa terlihat dalam proses pembelajaran di kelas dan prestasi belajar mereka. Siswa lalai dalam melaksanakan tugas – tugas kompetensi yang diberikan guru, terkesan apa adanya, atau menunaikan tugas pelajaran dengan cara praktis, yakni mencontek milik teman kelas lain. Siswa sudah kurang termotivasi untuk berfikir sendiri, yang penting praktis dan instan.
Kalau lebih jauh kita cermati, tidak bersemangatnya dalam proses pembelajaran lebih diakibatkan belum maksimalnya niat baik (good will) para pendidik untuk secara serius mengelola pembelajaran yang ideal. Selama ini, guru tampaknya masih memiliki keyakinan bahwa tugasnya hanyalah mentransfer ilmu pengetahuan yang tertuang dalam kurikulum dan buku pelajaran. Dalam praktiknya, siswa harus melalap habis materi pelajaran yang ada dalam buku, tanpa memperhatikan apakah ia senang atau tidak, mencapai tingkat pemahaman maksimal atau kurang. Siswa tidak boleh keluar dari rel (aturan main) yang telah ada dalam kurikulum dan yang dibuat guru. Kondisi semacam ini membuat siswa terbelenggu dan sangat membingungkan kreatifitas siswa (Topatimasang, 2002).
Fenomena diatas diperparah oleh “performance” guru yang acuh dan sengaja membiarkan proses pembelajaran apa adanya atau asal ngajar. Tidak jarang guru yang hanya masuk kelas untuk memberi tugas mengerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) selama jam pelajaran berlangsung. Guru juga dalam interaksi dengan siswa hanya diawali dengan ceramah dan ditutup dengan penugasan atau pertanyaan, begitu seterusnya. Tidak ada sapaan akrab yang mampu membangkitkan semangat peserta didik dalam belajar mereka. Kurangnya gairah guru sebagai agen pembelajaran akan berimplikasi terhadap siswa yang juga tidak “ connect” dalam belajarnya.
Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Tanpa kita sadari, pembelajaran sekolah bukan membuat siswa riang, kreatif dan terbebaskan. Tetapi justru menjadi momok yang cukup menakutkan, menegangkan dan menciptakan kelesuan dan kebosanan. Ketidakgairahan panjang dalam interaksi belajar-mengajar akan terjadi setiap jam pelajaran berlangsung. Kelas tidak lagi kondusif, akan dialami kegaduhan, kelas lesu, tidak ada ‘sharing’ yang segar akibat komunikasi guru dan siswa yang tidak dibingkai dalam suasana kebersamaan.
Suasana kaku dan serba prosedural ini akan berbahaya bagi bangunan pendidikan. Siswa mengalami posisi “ subordinat’ dengan guru sebagai agen pembelajaran. Siswa dianggap manusia tidak tahu segala hal dan tidak pantas untuk melebihi sang guru dalam segala aspek. Informasi dari guru dianggap sebagai kebenaran mutlak tanpa adanya diskusi lebih lanjut.
Pernyataan yang banrangkali haraus mendapat respon kita semua dari Emille Durkheim (dalam http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.htm) tentang 2 (dua) fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu1. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, yakni sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.
Dalam arti selanjutnya adalah bahwa fungsi negatif pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari tingkah laku guru dan strategi serta model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam proses pembelajaran. Kalau dicermati, memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membahayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah. Hal ini sangat berbahaya bagi sikap murid selanjutnya yang memungkinkan murid akan takut untuk mengemukakan pendapatnya karena takut salah di depan gurunya dan orang banyak.
Guru telah bertindak lebih jauh yakni sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Kedudukan guru dan siswa yang dibingkai dalam “otoriterisme” ini akan semakin menjauh dari asaz keseimbangan, egaliterianisme dan kebersamaan. Bahkan Freire (2001) setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut:
- guru mengajar, murid diajar, guru mengethui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
- guru berfikir, murid dipikirkan
- guru bercerita, murid patuh mendengarkan
- guru menentukan peraturan, murid diatur
- guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya
- guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
- guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanoa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
- guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
- guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Sebagai implikasi dari realitas diatas, jangan heran apabila yang terjadi “output” proses pembelajaran juga apa adanya dan jauh dari harapan ideal pendidikan. Kondisi psikologi siswa akan terpasung, karena hanya dijejali setumpuk materi pelajaran yang membingungkan. Siswa akan mudah stres, karena tidak kuat lagi memikirkan sejumlah materi pelajaran yang menumpuk ditambah dengan aktifitas di luar sekolah yang kemungkinan sangat padat. Tidak ada lagi nilai-nilai positif yang bisa membahagiakan. Kondisi ini akan berdampak serius pada capaian prestasi siswa dalam belajarnya yang akan terhambat dan cenderung asal-asalan tanpa melihat aspek kompetensi yang dicapai sesungguhnya oleh siswa.
Demokrasi Pembelajaran; Praktik Menyenangkan
Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendidikan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2 bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi.3
Tentu dengan ketentuan ini beberapa hal yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya dengan beban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara menyeluruh melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut.
Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap guru untuk selalu dinamis sebagai seorang professional. Profesional dalam arti secara terus menerus berkembang atau trainable. Guru sebagai agen pembelajaran harus mampu membekali untuk kreatif, rasional, keterlatihan memecahkan masalah , dan kematangan emosionalnya. Kematangan untuk selalu mencermati fenomena siswa dan kelas serta proses pembelajaran yang kemudian berusaha mengaitkannya dengan strategi jitu bagi terciptanya pembelajaran yang ideal (demokrastis dan menyenangkan)
Pembelajaran yang tidak diliputi oleh suasana demokratis akan mengakibatkan saluran komunikasi antara guru dan murid buntu. Tidak akan ada kesepahaman antar warga belajar. Guru hanya bertindak sesuai kemauan dirinya, tanpa memahami harapan-harapan siswa. Dalam hal pemilihan dan pemilahan materi, metode pembelajaran, situasi pembelajaran, seluruhnya tergantung dalam benak guru. Siswa dalam konteks ini tidak dapat berbuat banyak untuk ikut serta secara partisipatif mengkonstruksi pembelajaran. Jelas dalam hal ini, pembelajaran yagn terkonstruk “otoriter” hampir kehilangan ruh toleransi dan kebersamaan.
Kebuntuan realita di atas, ditambah lagi dengan hadirnya ‘performa’ guru yang kurang bersahabat. Bayangkan, bila pada awal pembelajaran seorang guru memasuki ruang belajar dengan wajah merengut dan suram. Proses pembelajaran akan melelahkan dan menegangkan. Siswa tidak akan bergairah mengikuti pembelajaran, apalagi sampai pada tahap eksplorasi problem pembelajaran.
Upaya untuk keluar dari pembelajaran yang cenderung membungkam kreatifitas siswa semacam tersebut, menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada guru untuk mengubah paradigma pola pikirnya dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada siswa menuangkan dan berekspresi.
Freire (2002) memaparkan pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyata secara kritis.”Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yan dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek.Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah seihingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus.
Seiring dengan tuntutan demokrasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk pula demokrasi pendidikan yang dalam praktiknya akan berimplikasi pada demokrasi pembelajaran. Tentu sejumlah nilai-nilai demokrasi yang kita sepakati bersama yang dapat meliputi nilai musyawarah dan keadilan, nilai persamaan (egaliter), nilai kritis dan dialogis (menghargai pendapat orang lain), nilai kerjasama atau gotong royong dan lain-lain (Abdussami, 2006) sangat tepat dan sinergis untuk diterapkan dalam praktik pembelajaran.
Pembelajaran demokratis terbangun dari penerapan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran dapat dibangun dengan prinsip toleransi dalam pembelajaran, keterbukaan (transparansi), kesamaan hak (egaliter), kebebasan berpendapat dan akhirnya terbukanya ruang partisipasi warga belajar. Diyakini dengan terealisasinya konsepsi di atas, akan efektif dalam penciptaan proses pembelajaran yang ideal.
Pembelajaran yang dibingkai dalam suasana penuh toleransi misalnya, akan membuka public sphare bagi keaktifan siswa dalam proses belajar tanpa budaya sungkan, takut, malu, dan merasa bersalah dalam mengemukakan pendapatnya. Toleransi dalam pembelajaran menuntut adanya kesamaan hak dalam berpendapat tanpa melihat perbedaan struktur dan latar belakang siswa.
Selanjutnya siswa dan guru sebagai warga belajar, akan tercipta suasana dialogis yang penuh gairah tanpa rasa ada yang saling menyalahkan dan menindas. Proses belajar semacam ini
belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik. Pada akhirnya akan terbuka ruang keterbukaan antar warga belajar dengan suasana yang saling menghargai dan saling “ fun” bersama.
Motivasi Belajar; Menepis Kecemasan
Guru dapat secara optimal diharapkan memahami lingkungan dan psikologi belajar siswa. Riel dilapangan situasi belajar sebagain siswa yang masih dalam kondisi mencemaskan, ketika guru hadir. Guru belum secara maksimal tampil sebagai bagian dari hidup mereka, belum secara ‘egaliter’ mau bersama-sama mereka untuk saling berbagi. Guru tidak dapat tampil untuk memikat dan mempunyai daya pikat bagi kebanyakan siswanya. Akibatnya siswa belum secara bebas menyampaikan gagasannya, karena kurangnya rasa empati seorang guru.
Tidak jarang dalam situasi pembelajaran, siswa merasa lesu, tidak bergairah, dan cenderung hanya ngisi absensi karena takut masuk kategori siswa malas dan berakibat fatal pada proses penilaian, semester, dan kenaikan kelas. Ada beberapa kondisi yang sering dijumpai pada siswa dalam pembelajaran hasil pengamatan penulis : 1) siswa kebanyakan ramai di kelas pada waktu pembelajaran dan cenderung tidak mengindahkan materi pelajaran yang disampaikan guru, 2) siswa diam pada waktu pembelajaran, tapi proses penyerapan materi pelajaran sangat rendah, 3) siswa kelihatan sibuk dengan urusan masing-masing waktu pembelajaran, ada yang ngerjakan tugas PR materi pelajaran lain, ada yang bicara dengan teman sebangkunya, ada yang berpangku pada meja belajar, bahkan ada yang tidur.
Pengalaman penulis misalnya ketika masuk kelas XII IPA pada jam-jam pelajaran terakhir, seringkali mencerna tampilan suasana kelas yang tidak bergairah, penuh kelesuan, dan kurang bersahabat. Penulis mencoba mengeksplorasi masalah yang sebenarnya dari fenomena yang terjadi sebelumnya. Celotehan beberapa siswa yang mengatakan; capek, pusing, ngantuk, lapara, istirahat dulu. Hal ini dikarenakan pikiran mereka telah terserap habis mengikuti pelajaran sebelumnya, disamping karena mereka tegang beberapa jam sebelumnya.
Kalau kondisi semacam ini dipaksakan, yang terjadi kemudian adalah banyak siswa yang asal mengikuti pelajaran tanpa paham makna apa yang mereka lakukan. Banyak siswa yang dengan mata terbuka tetapi pikiran meraka tidur. Tidak jarang mereka tidak kuat lagi menahan kantuk dan kepayahan dengan menelungkupkan kepalanya pada bangku.
Motivasi belajar siswa perlu segera dibangkitkan kembali seperti awal jam pelajaran pagi hari ketika masuk bel pertama. Tentu berbagai cara dan teknik telah banyak dilakukan guru dalam mengatasi situasi kecemasan pembelajaran. Mulai dari variasi metode, variasi media pembelajaran yang tepat dan lebih membuat siswa nyaman, sampai pada bentuk reward dan punishman. Tiada lain tujuannya, guru berupaya maksimal meningkatkan motivasi belajar siswanya.
Upaya meningkatkan motivasi dalam belajar menurut De Decce dan Grawford dalam Djamarah (2002: 135) yaitu guru harus dapat menggairahkan anak didik, memberikan harapan realistis, memberikan insentif, dan mengarahkan perilaku anak didik kea rah yang menunjang teracapainya tujuan pengajaran.
Kelas yang tidak bergairah selayaknya untuk di-reorganisasi secara besar-besaran. Hal dapat dilakukan guru dengan ; (1) pergunakan pujian verbal. Kata-kata seperti “bagus”, baik”, pekerjaanmu baik”, yang diucapkan segera setelah anak didik selesai mengerjakan pekerjaan, merupakan pembangkit motivasi yang besar. (2) Pergunakan tes dan nilai secara bijaksana tanpa rekayasa. (3) Membangkitkan rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi. Dengan melontarkan pertanyaan atau masalah-masalah, guru dapat menimbulkan suatu konflik konseptual yang merangsang anak didik untuk bekerja. Motivasi justru akan berakhir apabila konflik itu terpecahkan atau bosan untuk memecahkannya. (4) Melakukan hal yang luar biasa, misalnya meminta anak didik melakukan penyusunan soal-soal tes, menceritakan problem guru dalam belajar di masa lalu dan lain-lain. (5) Memanfaatkan apersepsi anak didik. Pengalaman anak didik baik yang di dapat di lingkungan sekolah maupun luar sekolah dimanfaatkan guru ketika sedang menjelaskan materi pelajaran. Dengan cara asosiasi ini anak didik berusaha menghubungkan materi pelajaran yang diserap dengan pengalaman yang telah dialaminya.(6) Pergunakan simulasi dan permainan (Gage dan Berliner dalam Djamarah, 2002 : 136).
Apabila motivasi telah tercipta kembali dengan sejumlah rangkaian penerapan strategi guru yang bersifat variatif, situasi cemas dalam pembelajaran akan diminimalisir. Kelas akan kembali hidup dalam kondisi yang pernuh gairah.
Bagi penulis, yang melakukan aktivitas pembelajaran di sekolah yang jauh dari pusat kota (kepulauan), yang kebanyakan peserta didik berada dalam kehidupan yang keras dan serba terbatas pada fasilitas, kadang mendapati siswa “apatis” (untuk berontak) pada keadaan. Dikarenakan siswa tidak dapat mengembangkan diri karena kesulitan fasilitas belajar yang terbatas. Disamping berbagai fenomena siswa lain yang menuntut guru lebih mempunyai kemampuan teknik yang strategis.
Humor dalam Pembelajaran; Strategi Mencengangkan
Humor sering dimaknai oleh banyak orang sebagai lawakan yang kemudian mengundang tawa dan canda. Orang akan semakin mengaitkan humor dengan sejumlah acara di media televise yang belakangan ini marak mengisi acara intertainment. Terakhir yang telah tinggal nama adalah acara kebudayaan yang dikemas dengan banyolan segar yakni “ketoprak humor”. Ketoprak bukan sekedar menyajikan banyolan belaka yang kemudian mengundang selera pemirsa untuk tertawa. Acara tersebut, tetap acara budaya (karena latar cerita yang dikembangkan memang cerita tradisional) meskipun kadang diselingi lelucon.
Tentu pemirsa terhipnotis (terbawa) untuk mengikuti dengan senang. Kondisi psikologis emosional mereka akan hidup dan sehat serta segar kembali diakibatkan rangsangan rasa lucu dan senang tadi. Orang kebanyakan akan selalu menonton dan mencari hal-hal yang dianggap lucu bagi dirinya untuk mmbuat mereka tertawa dan senang setiap saat.
Bahkan menurut riset sebelumnya telah menunjukkan bahwa anak-anak mrespon humor jauh sebelum mereka dapat memahami bahasa atau membangun memori jangka panjang. Humor ada sebagai salah satu proses kognitif mendasar awal. Alastair Clarke menjelaskan: “Permainan anak2 yang menarik seperti peek-a-boo dan kap-kap udang semua menunjukkan mekanisme yang tepat untuk humor seperti bagaimana ia mucul dalam bentuk dewasa. Peek-a-boo dapat memicu respon humor pada bayi paling awal pada usia 4 bulan, dan secara efektif, sebuah proses pengulangan sederhana kejutan, membentuk pola dasar yang jelas. Saat bayi berkembang, pola dalam humor anak menjadi lebih rumit dan bersenyawa dan mendapat unsur spasial dan temporal hingga, pada akhirnya, anak mulai mampu menangkap pola yang terlibat dalam humor linguistik."(http://faktaevolusi.blogspot.com/2008/06/)
Begitu pula dengan proses pembelajaran, kehadiran humor diyakini dapat kembali me-refresh kondisi siswa yang penat, loyo, dan tidak bergairah untuk kembali bersemangat dalam pembelajaran.
Tetapi tidak mudah dalam mengaplikasikan, dikarenakan proses pembelajaran merupakan proses yang kompleks dengan keterlibatan banyak faktor. Tidak hanya berangkat dari imajinasi, tetapi lebih pada pengalaman, bahwa kepemilikan ‘sence of humor’ yang kuat akan sangat membantu menciptakan suasanan kelas yang kondusif. Dalam artian, memungkinkan siswa belajar lebih baik dalam suasana fun (menyenangkan).
Humor tidak sekedar mengajak kita berhenti cuma pada ketawa. Humor yang bermutu, sesudah terbahak-bahak yang sangat melegakan jiwa, nalar kita berkembang menuju pemahaman lebih dalam lagi (Mohammad Sobary, 2000). Humor yang bagus adalah membuat orang (public) terpancing untuk tertawa atas materi humor tersebut, tetapi tidak kemudian selesai setelah itu, ada pemaknaan yang barangkali menyangkut filosofi hidup, keberagamaan, fenomena politik yang mengalami kebuntuan dapat dicairkan dengan humor.
Humor tidak sama dengan tertawa murahan, ia lebih kaya dan lebih menuntut dibandingkan bercanda (Ira Shor, 2001). Menurut Adrew How, penulis buku best seller “Highway to success” dengan artikelnya “Humor bagi kehidupan” (2005) bahwa humor yang sehat mampu mengurangi stress, memberi perspektif baru dan perasaan lebih baik. Humor yang negatif bisa menyinggung perasaaan orang lain, meningkatkan ketegangan dan perasaan lebih buruk.
Kenapa harus dengan humor? Ira Shor (2001) menjelaskan bahwa kehidupan pembelajar di luar sekolah adalah penuh humor dan komedi merupakan salah satu cara merasakan subjektivitas mereka. Ketika pembelajaran berlangsung tanpa humor tanpa emosi, hal tersebut telah mengabaikan dua nilai subjektif. Mereka (siswa) akan berpikir bahwa kehidupan intelektual adalah menyeret, siswa umumnya senang berhubungan dengan guru yang menghibur (yang mampu membanyol untuk menarik perhatian).
Pada sisi lain, humor dan kesehatan telah banyak diperbincangkan dan dibuktikan, karena tertawa berarti melakukan peregangan otot-otot halus tidak hanya di sekitar wajah tapi seluruh tubuh sehingga kita menjadi santai. Humor juga berkhasiat memacu kreativitas, karenanya sangat dianjurkan dalam ruang kelas maupun ruang keluarga.
Pendekatan komunikasi dan interaksi antara orangtua dan anak, pengajar dan anak didik dapat mendorong kreativitas serta kemampuan berpikir, mengenalkan nilai-nilai, mengajarkan perilaku positif dan tanggung jawab pada lingkungan sekitar, menanamkan rasa percaya dan kepercayaan diri anak-anak dengan mengenalkan satu mekanisme untuk menghadapi kesedihan, kekecewaan atau perasaan duka (Lovorn dalam Pitaloka,2008).
Konsepsi di atas, sinergis dengan hasil angket yang disebar oleh penulis kepada siswa kelas XII IPA, dari 85 respoonden, ketika pembelajaran awal tahun ajaran baru. Jawaban: sungguh mencengangkan, hampir 95% situasi pembelajaran yang disukai adalah santai. Hanya 3% saja yang menjawab situasi yang disukai adalah serius. Kemudian 68% mereka suka pembelajaran diselingi humor dan game, 31% dengan cerita, dan sisanya hanya 1% tanpa diselingi apapun.
Dengan demikian, kita menyadari kehadiran humor dalam proses pembelajaran sangat bermanfaat. Kemampuan kita menciptakan humor, akan lebih mudah berkomunikasi secara intensif dan membangun suatu hubungan sosial yang kuat. Ketika guru menstimulan dengan humor, suasana kelas akan berubah ceria, penuh bersahabat dan akrab. Saat inilah, guru membangun kembali kegairahan dan kebebasan setelah sebelumnya penuh ketegangan dan ketakutan atau cemas. Karena menurut Sultanof dalam Andrew How (2005) berbagai bukti telah menyebutkan tekanan emosi dan humor tidak dapat terjadi dalam satu suasana psikologis.
Dengan humor, akan tercipta suasana keterbukaan antar warga belajar, siswa dengan siswa, siswa dan guru. Ketika proses pembelajaran aspek jiwa siswa dan guru terlibat. Performa guru yang sejak awal tampil ceria, penuh canda akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tidak kaku, siswa akan tidak sungkan lagi menyampaikan gagasan-gagasan dan pendapatnya. Guru juga dapa merespon dengan penuh empati dan motivasi serta menghargai semua gagasan dan jawaban siswa dalam bingkai toleransi.
Efek humor dalam mendemokasikan pembelajaran ternyata tidak hanya terhenti pada penciptaan kelas yang menyenangkan, penuh keakraban, keterbukaan, dan toleransi serta mampu membangkitkan kembali motivasi siswa. Semangat humor yang menciptakan kegairahan kembali (re-motivasi) siswa akan berdampak jelas pada prestasi. Kelas yang penuh keterbukaan, akrab, dan gairah akan lebih berprestasi dibanding kelas yang kurang bergairah, lesu dan tertekan. Hasil analisis penulis, yang mencoba menerapkan rangsangan humor kepada kelas B (XII IPA) setiap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, hasilnya 82,5% siswa tuntas dalam belajarnya, sedangkan kelas A (XII IPA) yang tiap kali pembelajaran tanpa rangsangan humor yang intensif, hasil hanya 54,2% yang tuntas.
Mengaplikasikan humor dalam proses pembelajaran sebenarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara. Pertama, pada saat awal pembelajaran, untuk melemaskan kembali ketegangan dan menegaskan bahwa kita mau terbuka dan akrab dengan siswa. Kedua, sebagai selingan dalam pembelajaran. Hal ini dimungkinkan untuk menghindari kelesuan, monoton, dan mengurangi stress akibat penyampaian materi pelajaran. Ketiga, pada saat akhir pembelajaran. Untuk menyegarkan kembali setelah menerima pembelajaran, dan akan memasuki pembelajaran berikutnya. Guru juga bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekplorasi humor bagi teman-temannya.
Sumber dan bentuk yang dapat dieksplore dalam pembelajaran, misal dengan memberi nama lucu pada benda-benda yang ada, suara-suara dan wajah yang lucu. Bentuknya bisa berupa cerita humor, anekdot, sindiran, dan aksi dalam pembelajaran, atau dengan pantun jenaka atau pengalaman hidup siswa. Guru secara kreatif dapat menciptakan humor sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan pembelajaran agar lebih kontekstual.
Penutup
Keberhasilan dalam pembelajaran ternyata tidak hanya, disebabkan oleh kesiapan seorang guru dalam hal akademis dan materi pelajaran yang harus dikuasai, juga oleh keterampilan guru untuk mengelola kelas yang menyenangkan dan penuh motivasi ke arah prestasi yang meyakinkan.
Pembelajaran yang dibingkai dengan kehadiran humor didalamnya akan penuh dengan keriangan, kesetiaan, motivasi dan demokrasi serta prestasi belajar. Situasi kelas dan siswa yang bermasalah tidak harus diselesaikan dengan kemarahan guru dan pengelola pendidikan atau memberikan hukuman keras, tetapi dapat diselesaikan dengan elegan melalui rangkaian humor dalam pembelajaran. Tentu kita masih teringat kata-kata Gus Dur pada suatu kesempatan “ kalau suatu masalah dapat diselesaikan dengan tertawa (humor) kenapa harus dengan serius (mengerutkan dahi)”.
Oleh karena itu, humor yang dibingkai dengan tepat dan sesuai dengan kondisi kultur, emosional pembelajar akan menjadi alternatif strategi belajar yang jitu dan sangat mencengangkan dan sekaligus menyenagkan semua pihak.
Daftar Rujukan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Depdiknas RI
Jauhari,Muhammad Idris. 2007. Memfungsikan Pendidikan Informal dan Nonformal; Upaya Mengembalikan Pendidikan pada Jalur-jalur yang Semestinya. Dalam Jurnal Edukasi. Sumenep, Edisi 08
Topatimasang,Roem. 2002. Sekolah itu Candu.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ira Shor dan Paulo Freire. 2001. Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKis
http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.htm, diakses 01 Agustus 2008)
Abdussami, Humaidi.2006. Budaya Banjar dan Nilai-Nilai Demokrasi. Makalah disampaikan dalam seminar tradisi dan demokrasi, Juni 2006
http://faktaevolusi.blogspot.com/2008/06/humor-terbukti-mendasar-bagi.htmlpentingnya ia dalam perkembangan kognitif bayi.
Sobary, Muhammad.(pengatar) 2000. Presiden Dur Yang Gus Itu; Anekdot-anekdot KH Abdurrahman Wahid. Risalah Gusti
Adrew How.2005. http://www.pembelajar.com/humor. wmview.php?ArtID=379
Pitaloka, Ardiningtiyas.2008. Humor Dalam Bingkai Psikologi. (http://kesehatan.detail.asp,diakses Juli 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)