Sumber : Konkgkow Bareng Gus Dur
Ahad pekan lalu masyarakat Indonesia merayakan 5 tahun wafatnya Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.
Mantan
orang No. 1 yang akrab disapa Gus Dur itu meninggalkan kita pada 30
Desember 2009. Ia kembali ke bumi pertiwi, tempat nenek moyangnya pada
sekitar 1700-an menjejakkan kaki di Jombang, Jawa Timur.
Salah
satu citra Gus Dur yang tak mudah lekang dari ingatan ialah
tindakannya yang kerap out of the box. Lawatan ke luar negeri pertama
dilakukannya bukan ke Amerika Serikat atau Eropa, tetapi justru ke
Republik Rakyat China (RRC). Ini tidak biasa, sebab biasanya presiden
negara berkembang melawat ke negara adidaya, membangun persekutuan.
Banyak
orang mencibir tindakannya waktu itu (1999) karena dianggap nyleneh.
Ketika konferensi pers pertama usai terpilih jadi presiden, Gus Dur
menjelaskan latar dan alasannya mengunjungi China. "RRC negara besar
dan sangat potensial dari segi ekonomi. Jadi, kita justru rugi tidak
berhubungan dengan China," tegasnya.
Dalam konferensi itu
pula, seorang wartawan istana sempat nyeletuk, dengan membeberkan
sejarah diplomasi RI-RRC yang tidak begitu mulus sejak 1965.
Gara-garanya, Peking (sekarang Beijing) diduga kuat oleh pemerintah Orba
terlibat dalam G-30-S/PKI, terutama karena menyuplai senjata untuk
membantu pemberontakan PKI waktu itu.
Lagi-lagi, Gus Dur
menepis, keterlibatan RRC itu hanya sebatas asumsi, belum tentu benar.
Berdasarkan alasan rasional sebagaimana yang dikemukakannya, Gus Dur
justru balik bertanya, "Kalau kini saya membuka kembali hubungan dengan
China, mengapa tidak boleh?"
Gus Dur tetap Gus Dur, sulit dibaca dan ditebak. Ia kokoh dalam pendirian dan terus ngotot pada keyakinan yang dianggap benar.
Hubungan khusus
Secara
genealogis, Gus Dur mempunyai hubungan khusus dengan China. Sejarah
mencatat, salah seorang keturunan raja Majapahit pernah mempersunting
putri raja Campa. Dari buah perkawinan itu, lahirlah Tan Kim Ham, alias
Abdul Kadir. Dari garis keturunan Abdul Kadir lahir Sunan Ampel yang
melahirkan K.H. Hasyim Asyari, kakek Gus Dur. Ini dicatat dalam buku
Yan Bin's Genealogy 1770-2004 (2004) yang diterbitkan Paguyuban
Keluarga Keturunan Gan, di mana Gus Dur dan Yenny Wahid aktif di
dalamnya.
Itulah sebabnya, Gus Dur membela mati-matian
etnis China yang, ketika Orde Baru berkuasa, secara politis
dipinggirkan. "Orang yang membenci etnis Cina tidak tahu sejarah. Sebab
kalau mau ditelusuri, kita semua keturunan China," kata Gus Dur waktu
itu.
Pernyataan Gus Dur kontan membuat orang terperangah.
Maka ia pun menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Dan
membolehkan kembali simbol serta atribut China berkibar di Nusantara.
Namun,
Gus Dur mengajak bangsa Indonesia rekonsiliasi dengan China bukan
semata-mata karena ia sendiri keturunan China. Lebih dari itu. Gus Dur
melihat, pada masa-masa mendatang China sebagai suatu jaringan
(networking/guanxi) perlu dirangkul untuk membangun kembali perekonomian
Indonesia yang baru saja dilanda krisis hebat.
Dan kini,
ketika area perdagangan bebas Asean-RRC dibuka, hubungan dengan China
tidak bisa dinafikan. Gus Dur sudah sejak awal menyiapkan masuknya
pengaruh China, bukan saja dari sisi budaya, tapi juga ekonomi dan
bisnis.
Gus Dur mafhum, sebagai guanxi, kekuatan China
sangat diperhitungkan di mana-mana, di seantero dunia. Studi tentang
hal ini, antara lain dilakukan Gary Hamilton (1989). Ia sampai pada
simpulan, guanxi memainkan peranan besar dalam kapitalisme di tiap-tiap
negara-negara (waktu itu disurvei negara-negara industri baru atau
NICs).
Bahkan futurolog John Naisbitt melihat guanxi
adalah model kapitalisme di Asia. Dalam buku Megatrends Asia (1996)
Naisbitt menyebut kecenderungan besar akan terjadi di Asia, yaitu
adanya perubahan paradigma negara-bangsa (nation state) menuju
networking.
Seperti juga Gary Hamilton dan Niasbitt, Gus
Dur pun meyakini guanxi. Itu sebabnya, ketika orang ramai-ramai
mengiritik ia banyak menghabiskan waktu untuk berkunjung ke luar
negeri, Gus Dur enteng menjawab bahwa orang yang mengritiknya tak paham
apa yang dikerjakannya. Atas kritikan itu, Gus Dur bergeming dan tetap
pada pendiriannya: kalau mau selamat, guanxi perlu dirangkul.
Keyakinan
diimbuh data dan fakta, membuat Gus Dur memprioritaskan kunjungannya
ke China. Kunjungan itu, mencairkan kembali hubungan diplomatik
Indonesia-RRC, setelah sekian lama beku akibat kebijakan politik luar
negeri Indonesia semasa Orba. Sekaligus Gus Dur menepis opini umum yang
mengatakan, selama ini Indonesia secara sistematis telah melakukan
diskriminasi rasial.
Apalagi, kerusuhan Mei 1998
seakan-akan membenarkan, memang terjadi apa yang disebut sebagai
gerakan etnic cleansing (peminggiran etnis) China di Indonesia.
Aksi
boikot para guanxi sangat kita rasakan pascakerusuhan Mei 1998.
Ratusan triliun rupiah dana segar milik para taipan, yang notabene
keturunan Cina, keluar dari Indonesia saat itu. Ini membuat ekonomi
kita yang terpuruk sejak 1997 jadi makin ambruk karena adanya capital
outflow.
Pelarian modal keluar negeri ini, antara lain ke
Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan RRC sendiri; selain sebagai akibat
perasaan was-was akan situasi di Indonesia, juga sebagai aksi protes
atas dugaan praktik "etnic cleansing" yang dirasakan kaum minoritas
pada Tragedi Mei 1998.
Dana segar itu, kemudian menumpuk
di Singapura. Dengan mudah membuat para guanxi "mengobok-obok" rupiah,
sehingga nilai tukar atas US$ semakin anjlok. Kejadian itu membuat kita
merasa kecil di hadapan sebuah jaringan bernama guanxi, sekaligus
menjadi warning bagi kita untuk tidak memandang sepele etnis China lagi
di bumi pertiwi karena mereka memiliki jaringan luar biasa.
Masih
segar dalam ingatan kita, usai tragedi Mei 1998, sebagai ketua PBNU
waktu itu, Gus Dur menyerukan kepada keturunan China yang berada di
luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia. Gus Dur juga menjamin
keselamatan mereka. Dan kepada warga pribumi, dihimbau agar mau membaur
dengan warga keturunan.
Rekonsiliasi nasional yang sejak
awal dikumandangkan Gus Dur, semakin mendapatkan implementasinya begitu
ia dipilih jadi presiden. Untuk memulihkan ekonomi nasional, langkah
pertama yang ia lakukan adalah memanggil kembali para pemilik modal agar
mau berinvestasi di Indonesia. Gus Dur yakin, suatu pemerintahan yang
tidak menerapkan politik rasialis, akan membuat para guanxi merasa aman
menanam modal di Indonesia.
Ini pertimbangan ekonomis
kunjungan beliau ke China. Dan waktu kemudian membuktikan, Gus Dur yang
dianggap nyleneh, ternyata benar. Ia seorang visioner. Butuh waktu 10
tahun agar mata awam tercelik melihat apa yang ia lakukan.
Oleh R. Masri Sareb Putra
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara