Ilahi, lastu lilfirdausi ahla. Wala aqwa ‘ala naril jahimi, Fahab li tawbatan waghfir dzunubi. Fainaka ghafirud dzanbil adzimi
Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.
Maka berilah hamba tobat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung
Dua
bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat
Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang
shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di
pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai
puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak
Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu
Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam.
Bagi
masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan
lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan
kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip
dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf,
sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad
(806-814 M).
Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal
dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk.
Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan
kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang sejati meski
penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual
yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan
nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada
banding.
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani
al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri
Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia
mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun
militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang
bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu
kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar
berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku
kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik
dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga
sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan
keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan
Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami.
Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad,
Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad
as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab
al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak
kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang
kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu
Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup
bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa
Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti
Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya
menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun
karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada
masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam
Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai
penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan
tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya
ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang
sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya
menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui
musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi
penyair istana (sya’irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan
perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain
kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda
tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan
juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika
Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung
Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah
bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri
Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun
803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur
Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke
Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak
mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius.
Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh
glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua
bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami
sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.
Memang,
pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan
maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan
nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai
jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid,
Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah
hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan
tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah,
memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan
ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya
yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan
masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling
berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810
M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199
H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang
disuruh oleh keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya. Ia
dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Sejumlah puisi Abu
Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai
bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald
(1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884
M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan
di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.
Salah
satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang
sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya
dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir
datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. “Tuhan,
kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah
compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang
sudah lama.”
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita
selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi
yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.