Sabtu, 30 Januari 2010
Cerpen " Manusia Manusia Kesurupan"
Manusia-Manusia Kesurupan
Oleh
Imam Suhairi
Aku benar-benar tidak percaya, hal ini terjadi di hadapanku. Bukan hanya dikagetkan banyaknya suara perempuan yang melengking sambil menjerit-menjerit, tapi derak bunyi sepatu yang kalang-kabut menuju ke arah suara lengkingan-lengkingan itu.Suasana kacau-balau tak dapat terelakkan lagi. Semua nampak makin bingung saja, termasuk Bu Tri yang baru saja datang bersamaku.
Beberapa tubuh tergolek lemas digotong ke ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Meskipun tidak bisa dibilang UKS beneran, tapi masih sanggup menampung tiga atau empat orang. Kali ini hanya dua perempuan yang direbahkan di atas matras UKS, ...kalau tidak salah evi dan susi. Lemas, tapi kemudian berontak, lemas lagi, seperti menggigil lalu lemas lagi. Lain lagi dengan Endang, anak kelas XI IPS yang dikepung beberapa siswa lain dan saya lihat ada Bu Ira yang guru PKn, Bu Nur yang guru BK mencoba menyadarkan Endang. Aku coba mendekat ke arah Endang. Aku teringat kata-kata Kyai Fahmi, untuk mengusir makhluk halus yang mengganggu manusia bacalah Ayat Kursi sebanyak-banyaknya pada telinganya. Aku membacanya dalam hati. Beberapa siswa yang menunggui Endang yang aktivis pramuka ini, juga komat-kamit dengan wajah tegang. Bu Ira dan Bu Nur hanya memegangi tangan dan kaki Endang yang terus berontak. Tak ada perubahan. Lalu aku keluar.
Di ruang kelas X A yang bersebelahan dengan kelas yang ku datangi, kembali histeris. Aku lihat seorang siswi dipegangi teman-temannya karena menjerit dan berontak sambil menghujat sana-sini tak karuan. Matanya terpejam rapat dan tegang. Lalu direbahkan darurat di meja ruang guru. Pak Kohar, Guru Sejarah yang belakangan dipercaya jadi Asisten Wakasek melotot, “waduh…Narti…Narti lagi kemudian berlalu keluar.
Pak Latif Wakasek Kesiswaan terlihat sibuk diskusi dengan Pak Badrun, Wakasek Humas yang di-tua-kan di sekolah ini. Lalu tiba-tiba memegang telepon selulernya berbicara dengan nada serius. Aku menduga mungkin dengan Kepala Sekolah yang sedang ada acara dinas di luar daerah. Tapi tidak paham isi pembicaraannya, karena selain suasana riuh, Pak Latif seakan memang menghindari keramaian dengan mojok di salah satu sudut ruang guru. Pak Saiful, Guru Fisika yang tadi berpapasan denganku di jalan, kini datang bersama orang yang memakai baju muslim, kopiah putih dan jenggot terurai. Orang yang sudah ku paham, Ustad Rahman. Dengan matanya yang berkaca-kaca, dia masuk ke ruang UKS dan “Assalamu’alaikum.” Semua yang ada di ruang UKS hanya menjawab lirih salam Ustad Rahman.
Evi dipegangi kedua tanggannya oleh Pak Saiful, sementara dua orang siswa berusaha menghentikan kedua kaki Evi yang terus berontak. Ustad Rahman memegang erat kepalanya dengan sedikit menekan kemudian membaca Ayat-Ayat Rukyah yang bersumber dari Al-Quran yang diyakini dapat membakar jin jahat yang dipastikan merasuk ke dalam tubuh dan jiwa Evi, siswa kelas X C yang baru genap satu semester itu sekolah di SMA ini.
Hampir seperempat jam Evi di-rukyah. Matanya yang semula tertutup rapat kini mulai terbuka sedikit disertai dengan rintihan “aduh….aduuuh…saa..saakit!” Aku berfikir mungkin ia telah mulai sadar. Iya…Evi mulai sadar. Diberinya dia minum air yang telah sebelumnya diberi mantera-mantera doa. Tubuh Evi lunglai dan perlu istirahat banyak. Melalui kebijakan Kepala Sekolah, Evi dipulangkan untuk istirahat. Sebelum Evi keluar dari ruang UKS, beberapa teriakan histeris memekikkan telinga lagi. Kali ini dari depan kelas X A dan X B. Dalam waktu sekejap sudah berkerumun beberapa siswa dekat siswa yang jatuh pingsan dan meronta itu. Kali ini secara bersamaan, mencapai enam siswa perempuan semua. Semua guru yang tadi ikut membantu memegangi Narti, Endang, Susi, dan Evi bergegas membantu membopong keenam siswa.
Mereka semua meronta, disertai penglihatan mereka yang kosong dan seakan ada yang mengendalikan. Pak Amin, Guru Ekonomi yang sejak tadi hanya berdiri kebingungan , tiba-tiba menelepon beberapa orang. Kali ini, Ustad Hakim yang lulusan pesantren ternama di Situbondo dan Ustad Hairul, seorang pengasuh Pesantren Modern Attauhid, yang dulu sempat diciduk polisi karena dicurigai terkait dalam kasus bom Bali. Sementara Ustad Muhajir tidak bisa datang, tapi merukyah dengan jarak jauh; suaranya dikeraskan melalui handphone ke telinga Susi. Ustad Muhajir mengeraskan suaranya.
“Hai…makhluk Allah, apa kamu masih tidak mau keluar?
“Keluarlah, maka aku tidak akan menyakitimu.” Tiba-tiba dari mulut Susi keluar ucapan lirih.” Iya..., aku mau keluar! aku sudah keluar…! jangan teruskan panas!..panas!. Bohong, kamu belum keluar..! ayo keluarlah!
“Audzubillahi kalimatittammati…, keluarlah!”, bentak Ustad Muhajir. Dari mulut Susi berucap lagi“ aku sudah keluar…! panas…panas!
Di tengah Ustad Rahman, Ustad Hairul, dan Ustad Hakim masih sibuk dengan bacaan-bacaannya, tiga anak yang semula duduk-duduk di depan kelas mereka, tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri dan berteriak-teriak meronta. Suasana semakin kacau saja. Tak terkendali. Aku benar-benar merasakan lingkungan sekolah seperti terasing dalam hatiku. Seperti berada dalam dunia lain rasanya. Akhirnya, melalui keputusan kepala sekolah semua siswa dipulangkan sebelum jam terakhir. Aku merasa agak lega, karena pikirku ini tindakan tepat demi menyelamatkan jatunya korban-korban selanjutnya. Siswa yang terlanjur kesurupan dan sudah ditangani oleh para ustad, diberi dispensasi untuk tidak masuk ke sekolah selama belum sembuh total.
Para ustad yang duduk di ruang tamu, memberi arahan kepada para guru, bahwa mereka siap datang kalau ada apa-apa lagi. Mereka juga memberi amalan yang dapat dibaca oleh para guru dan siswa untuk menghindari dari kekuatan jin jahat. Sebagian guru masih berada di ruang guru, Bu Tri, Bu Asri, Bu Nur, Pak Kohar, dan Pak Saiful, Pak Latif, Aku sendiri, dan Pak Agus, pembina pramuka__orang yang paling merasa bersalah karena telah membawa siswa berkemah di Kampung Bukit Pasir, yang terkenal angker__awal dari anak-anak kesurupan massal.
Setelah para Ustad meninggalkan sekolah, Pak Saiful yang dikenal taat dalam ibadahnya, memulai pembicaraan.
“Benar kata Ustad Hairul, kita semua warga sekolah harus menyatakan perang dengan jin sampai titik darah penghabisan. Kita tidak boleh terjatuh pada hal-hal yang berbau syirik. Seperti membuat sesaji untuk jin yang mengganggu sekolah kita, karena itu perbuatan syirik. Dosa syirik tidak diampuni Tuhan sampai kapanpun!” Aku bertanya pada Pak Agus.
“Pak, apa ada yang berencana membuat sesaji? kataku lirih.
“ Iya, termasuk saya, ssseeet! Jangan nyaring…,nanti kedengaran Pak Saiful.
“Begini, saya kemarin lusa datang ke orang pintar, katanya ini para jin penunggu Bukit Pasir marah karena merasa diusik dengan kedatangan siswa pramuka, nah sekarang dia bersatu dengan jin penunggu pohon beringin tua di samping sekolah ini. Tumbalnya, mereka minta sesaji berupa ayam jantan 2 ekor dan bunga tujuh rupa. Sebagai ganti, karena ada dua anak laki-laki yang kencing sembarangan waktu kemah kemarin. Sedangkan bunga tujuh rupa sebagai ganti, karena salah satu anak jin dari mereka sakit mata, karena kena kencing anak-anak.
“He….he….he!,” tawaku meledak tak terkendali dan membuat semua guru menoleh padaku karena kaget bercampur tanda tanya.
“Wah, saya khawatir ganti sampeyan yang kesurupan!”, kata Pak Kohar sekenanya tanpa tahu apa maksud tawaku.
♦ ♦ ♦
Mungkin, hanya aku yang tidak bisa tidur semalaman, karena memikirkan kondisi sekolah. Hatiku membatin, kapan sekolah ini akan bebas dari gangguan jin. Sudah satu minggu, hampir tiap harinya ada siswa yang kesurupan. Anehnya menimpa siswa perempuan semua. Hanya ada dua orang laki-laki yang kesurupan saat kemah minggu kemarin, tapi sekarang sudah sembuh. Pikiranku mulai terbayang dengan cerita Pak Agus tempo hari setelah dari perkemahan yang menggemparkan warga itu. Betapa tidak, baru saja memasang tenda kemah, siswa dikejutkan dengan ular belang besar dua ekor yang masuk ke tenda, lalu tiba-tiba hilang. Pas setelah kejadian itu, siswa perempuan yang berada di tenda lain, berjatuhan pingsan. Disusul dengan siswa-siswa yang lain. Budi dan Amir anggota pramuka senior, yang baru saja membuat tungku untuk memasak nasi, menjerit dan roboh. Menurut penuturan Pak Agus, suasana di kampung Bukit Pasir dekat hutan yang agak lapang itu berubah jadi arena kesurupan massal. Pak Agus, berteriak-teriak minta pertolongan warga sekitar. Sementara siswa laki-laki lain lari masuk kampung untuk mencari orang pintar dan ustad.
Warga pun berdatangan, menggotong siswa-siswa perempuan yang kesurupan ke kampung. Datanglah Mbah Darib, seorang yang dikenal warga kampung sebagai orang yang sering berkomunikasi dengan jin penunggu hutan Bukit Pasir ini.
“Assalamu’alaikum Pak Guru,” salam Mbah Darib.
“Walaikum salam Mbah Darib”, jawab Pak Agus yang sambil berdiri tegang. Pak Agus diajak duduk di bawah pohon sawo dan coba ditenangkan oleh Mbah Darib. Pak Agus diberi penjelasan oleh Mbah Darib, sejak anak-anak dan Pak Agus datang, saya sudah kedatangan pemimpin dari mereka, pemimpin para jin, bahwa intinya mereka melarang meneruskan kemah di sini, karena mereka merasa terganggu. Jadi Mbah Darib meminta sebaiknya Pak Agus dan anak-anak pulang saja atau berkemah di tempat lain.
Atas nasehat itu, anak-anak yang sudah mulai sadar, dikumpulkan untuk segera “meringkesi” semua peralatan kemah. Mobil truk dan pick up yang membawa anak-anak pun di telepon untuk segera ke lokasi perkemahan. Setelah semua beres dan siap untuk pulang, dikejutkan lagi dengan empat siswa histeris lagi dan jatuh tersungkur. Pak Agus segera memerintahkan untuk cepat dinaikkan saja ke mobil dan segera menjauh dari kampung Bukit Pasir. Dua mobil truk dan pickup pun segera tancap gas dan menderu bagai kilat menyambar, sekejap mata kemudian hilang di balik bukit. Namun di tengah perjalanan sesuai dengan laporan beberapa siswa laki-laki, dua puluh satu siswa perempuan yang naik truk itu, semuanya berteriak-teriak dalam truk. Mereka kesurupan di atas truk yang sedang ngebut itu. Tapi ada beberapa siswa perempuan yang masih agak sadar, dengan mengucap. “Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar sambil menjerit. Sampai di halaman sekolah, beberapa siswa perempuan masih tidak sadar dan akhirnya dipulangkan ke rumahnya. Ada sebagian yang diantar oleh siswa yang sehat. Itulah awal kesurupan di sekolah.
Keesokan harinya, di sekolah pada waktu jam pertama, baru setengah jam berlangsung, di awali Narti menjerit di dalam kelas dan meronta. Siswa perempuan lainnya ikut berjatuhan dan histeris. Kondisi ini masih berlangsung sampai jam terakhir. Tapi hari berikutnya berlangsung lebih dahsyat. Beberapa siswa yang tidak ikut perkemahan kemarin, malah ikut kesurupan.“Kring….kring, lamunanku dikagetkan dengan bunyi nada alarm di handphone-ku. Tanpa kurasa sudah jam dua malam. Aku benar-benar tidak dapat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku, karena besok harus masuk jam pertama karena upacara bendera hari Senin. Bagiku ini kesempatan terbaik untuk menyampaikan kepada kepala sekolah yang akan menjadi pembina upacara untuk diteruskan kepada siswa bahwa fenomena gangguan jin di sekolah kita dapat dihindari dan ditolak dengan dua cara yakni : pertama, dengan banyak zikir kepada Allah dan jangan banyak melamun.
Pagi yang cukup cerah, hari Senin, bertepatan tanggal 22 Oktober 2007 di halaman SMA Negeri Kaliadem, ratusan siswa dengan berseragam lengkap telah berderet rapi menghadap ke arah para guru yang berbaris sekitar tujuh meter di hadapan mereka. Kali ini guru lengkap, karena sebelumnya telah ada instruksi kepala sekolah untuk hadir dalam upacara hari ini. Kepala Sekolah berdiri tegap, setegap perawakan tubuhnya meskipun agak buncit perutnya. Pandangannya tegak ke depan di tengah-tengah guru lain di barisan paling depan. Di samping kiri-kanannya para wakasek dan diikuti kepala TU dan asisten wakasek. Di belakangnya disusul, para guru, termasuk aku dan karyawan TU.
Prosesi upacara pun dimulai tahap demi tahap. Sampai pada sambutan pembina upacara, yakni Kepala Sekolah sendiri. Aku mulai membatin lagi. Mudah-mudahan saja kepala sekolah menerima sarankanku dan menyampaikannya kepada siswa. Setelah melakukan evaluasi pelaksanaan upacara, Kepala Sekolah mulai membuka pidatonya masalah fenomena gangguan jin yang menimpa sekolah ini. Ia memulai dengan kalimat
“Sekolah kita akhir-akhir ini dihantui oleh makhluk halus yang sering mengganggu aktivitas belajar. Kita tidak dapat melihat keberadaannya, tapi kita percaya akan adanya,” katanya dengan nada serius.
Aku mulai menyimak kalimat-kalimat yang diucapkan sebelum aku membatin lagi, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa hari ini, termasuk saat upacara ini. Kepala Sekolah meneruskan sambutannya.
“Kita bisa mencegahnya dengan banyak cara, yaitu bisa melalui banyak zikir dan jangan banyak melamun serta jangan banyak menyendiri.” Pidato kepala sekolah terhenti sejenak, karena tiba-tiba ada siswa perempuan dari barisan paling kiri menjerit histeris dan jatuh pingsan. Aku tidak melihat siapa gerangan? Kepala Sekolah coba menenangkan keadaan saat itu “tenang, tenang, …kita lanjutkan!”
Tapi situasi tak terkendali lagi, semakin banyak siswa perempuan berjatuhan, dua, tiga, empat, …lima belas atau delapan belas siswa. Upacara terhenti seketika. Aku lihat halaman sekolah bagai ada perang. Penuh jeritan dan yang jadi korban digotong ke berbagai ruang sekenanya. Ku amati kepala sekolah makin bingung dan menghela nafas panjang dan berucap lirih.
“Waduh gimana ini Pak, kok begini?” Pak Kohar tiba-tiba datang ke hadapan Kepala Sekolah.” Ini pasti si Narti penyebabnya Pak! Ya, Narti Pak!” dengan suara menghentak mengagetkan. Lho emang, ada apa dengan Narti, gumamku dalam hati. Aku berusaha mencari tahu, ku dekati Pak Agus, tapi sibuknya membuat aku mengurungkan niat. Aku semakin penasaran, kenapa Narti, apakah dia yang membawa malapetaka ini semua. Aku mendapati Bu Nur, aku dekati dia.
“Kenapa dengan Narti Bu, apa dia memang bermasalah? Bu Nur hanya melirik padaku.
”Iya, karena Narti awalnya yang kesurupan tadi, ia sudah tidak diperbolehkan masuk, karena paling parah sakitnya, tapi masih muncul juga, akhirnya yang lain tertular.”
Sepuluh menit kemudian datanglah beberapa ustad kondang di daerah Kaliadem ini; Ustad Hakim, Muhajir, Hairul, Rahman, dan Ustad Mamang yang penampilannya nyentrik kayak anak muda, pakai celana jin dan odeng dan pakai kaca mata hitam. Mereka kebagian merukyah satu persatu siswa yang kesurupan. Setelah agak sadar, siswa yang kesurupan yang jumlahnya delapan belas itu, dipulangkan. Dianggap sadar, apabila siswa yang kesurupan itu lunglai, tak berdaya, tapi sudah sadar akan dirinya. Tetapi seperti hari-hari sebelumnya, setelah yang lain dirukyah, pasti ada siswa lain yang ikut-ikutan kesurupan.
Siswa yang masih berkeliaran di luar kelas, melalui pengeras suara terpaksa dipulangkan lagi karena situasi sudah tidak menguntungkan. Sementara Kepala Sekolah menggelar rapat darurat untuk mengatasi hal ini. Semua guru berkumpul dengan wajah lesu dan tenaga terkuras, karena situasi yang menegangkan dan harus membantu siswa yang kesurupan tiap hari. Rapat yang digelar khusus itu menjadi ajang perdebatan antar guru. Pak Saiful tetap pada pendiriannya,
“ Kita harus menyingkirkan hal-hal yang berbau syirik dalam menghadapi ini.” “Kalau perlu Kepala Sekolah menindak guru-guru yang berusaha mencampur aqidah dengan kemusyrikan, titik!” dengan suara lantang. Sementara Pak Agus, menyarankan agar mendatangkan orang pintar semacam Mbah Darib, atau mereka yang bisa mengusir jin dari sekolah kita.
“ Percuma kita bertahan dengan gagasan kita, kalau ternyata nihil hasilnya. Tiap hari telah didatangkan ustad, tapi hari berikutnya masih ada orang kesurupan. Apa salahnya mencoba dengan metode lain?” katanya berapi-api.Di tengah perdebatan dua prinsip itu dengan lugunya Bu Asri nyeletuk sambil tersipu.
“Begini saja yang terhormat Kepala Sekolah dan Bapak Ibu Guru, kita adakan sayembara mengusir jin. Siapa yang dapat menghilangkan kesurupan di sekolah ini dalam waktu satu minggu, akan dapat hadiah besaaar!”
“He he he…, tawaku kembali tak tertahankan yang kemudian diikuti dengan riuh tawa semua yang ada di ruangan itu.
Pagi yang agak diliputi mendung, karena hampir lima bulan belum hujan. Bel sekolah dibunyikan, semua siswa diharap berkumpul di halaman untuk digelar apel pagi dan sekaligus istigasah untuk mengusir jin, biang kerok kesurupan di sekolah ini. Dipimpin Pak Latif, wakasek kesiswaan mengumumkan bahwa mulai hari ini sebelum pelajaran jam pertama dimulai, semua siswa setiap kelas yang dipimpin para guru pengajar masing-masing wajib menggelar zikir dan membaca Surat Yasin. Siswa diwajibkan melakukan Sholat Jamaah Duhur secara bergantian tiap kelas. Siswa dilarang duduk atau menyendiri dalam kondisi apapun. Hari ini juga akan digelar “istigasah” sebelum pelajaran dimulai.
Hasilnya cukup efektif, keesokan harinya hanya ada enam siswa perempuan yang kesurupan. Itupun cepat ditangani dengan mendatangkan ustad seperti hari-hari sebelumnya. Kali ini hanya Ustad Muhajir dan Ustad Hakim. Siswa yang kesurupan langsung dipulangkan. Hari berikutnya tidak beda dengan hari kemarin, ada tujuh siswa pingsan menjerit histeris. Aku jadi tertawa sendiri kemudian ku katakan pada Bu Asri.
“Lama-lama kita jadi biasa dengan sekolah kesurupan ini Bu,” kataku dengan spontan.
“ Jadi menurutku, tidak usah ada orang pintar segala macam, kalau ada siswa kesurupan, cepat ditangani, kemudian langsung pulangkan, beres kan!” Bu Asri hanya tersenyum dengan ideku.
Hari berikutnya Narti, ya Narti kulihat lagi berjalan memasuki kelasnya. Siswa yang dianggap penyebab kesurupan massal waktu upacara tempo hari. Dalam benakku, mungkin dia sudah sembuh, sehingga masuk sekolah. Tidak tahu apa ada guru yang paham Narti masuk hari ini. Tapi aku tetap khawatir, Narti akan dimaki-maki Pak Kohar atau dipulangkan paksa, karena sudah diberi dispensasi selama setengah bulan, tapi masih nongol juga. Atau Narti yang akan menyebabkan sekolah kacau lagi di tengah sekolah yang dominan kondusif beberapa hari ini.
Jam istirahat usai, semua terkendali. Tidak ada siswa yang menjerit. Ya biasa, kesurupan siswa akan ditandai dengan jeritan-jeritan siswa perempuan. Namun, setengah jam lebih tujuh menit setelah jam masuk, teriakan siswa perempuan dari arah kelas X D, disambung siswa kelas X C dan X A. Semua siswa berhamburan keluar, ada tujuh siswa digotong keluar menuju ruang guru. Saya lihat ada tiga siswa yang baru mengalami kesurupan, empatnya sudah sering, termasuk si Narti. Pak Kohar begitu tahu Narti, langsung ekspresionis.
“Cepat antar dan pulangkan Narti, kurang ajar anak itu.”
Situasi agak panas, karena Pak Agus tiba-tiba bersama orang pakai jubah dan celana lebar hitam, pakai odeng. Orang yang membuat warga sekolah kaget itu langsung menyiram air tujuh rupa yang dituangkan dari kendi di sekujur tubuh Narti dan siswa lain yang kesurupan. Ia juga membakar dupa dibubuhi garam kemudian asapnya yang mengepul dikipas-kipaskan pada dinding-dinding sekolah. Pak Agus hanya mengikuti di belakangnya.
Padahal aku telah berharap, agar Pak Saiful dan Pak Masyar yang keras menyikapi kegiatan beginian tidak muncul. Tapi tanpa kusadari, mereka berdua datang bersama kepala sekolah untuk menghentikan aksi orang asing itu. Pak Saiful langsung berucap keras.
“Hentikan semua kemusyrikan dan kemurtadan ini!”. Tidak cukup dengan itu, entah spontan atau tidak, ia kemudian menginjak dan menendang dupa yang dipakai orang asing itu. Tak pelak, Pak Agus langsung bereaksi dengan meninju muka Pak Saiful, sementara orang asing itu dengan tangkas melerainya. Semua ikut melerai, Pak Masyar dan aku sendiri. Semua berhamburan keluar dari ruang guru. Siswa yang mendengar bunyi riuh di depan ruang guru, juga ikut keluar, terutama kelas XII IPA dan XI IPS, karena agak dekat kelasnya dengan ruang guru. Pak Agus benar-benar berang.
“Kurang ajar, tidak menghargai kerja orang, padahal ini demi semua warga sekolah, demi anakmu yang sekolah disini juga,” hardik Pak Agus pada Pak Saiful.
“Katanya orang beragama, tapi kamu tidak menghargai orang lain, brengsek,” maki Pak Agus. Pak Saiful hanya menghadap Kepala Sekolah sambil berucap.
“Bapak Kepala Sekolah, jangan biarkan sekolah ini jadi sekolah musyrik. Ini hanya ujian kita semua, kita diuji untuk tetap dalam AqidahNya yang tidak sesat.” Aksi ini telah menjadi tontonan gratis semua yang hadir.
Di tengah suasana tegang ini, muncul suara memecahkan kebuntuan.
”Lho, siapa lagi yang kesurupan ini, lho kenapa Pak?”
“ Masak sampeyan kesurupan, padahal orang alim, lho Pak Agus, apa sampeyan masih sadar,ikut kesurupan juga?”
Wah, ternyata Bu Asri yang buat sensasi lagi, tiba-tiba muncul dari kantin sekolah. Semua dibuat gerrrr…! Termasuk Kepala Sekolah yang ikut tertawa. Akhirnya bubar. Pak Saiful akhirnya bersalaman dengan Pak Agus dan orang asing itu meskipun agak ketus, yang belakangan diketahui adalah Mbah Darib. Mbah Darib sengaja dihubungi Pak Agus untuk melakukan ritual mengusir jin di sekolah yang tak kunjung pergi.
♦ ♦ ♦
Sampai di rumah, aku biasa menceritakan semua keadaan di sekolah pada istriku. Bukan apa-apa, tapi sebagai teman curhat saja dan kadang ada ide segar yang muncul tiba-tiba dari istriku untuk dijadikan referensi. Aku ceritakan semuanya, termasuk kejadian Pak Saiful dan Pak Agus serta aksi lelucon Bu Asri belakangan ini. Istriku hanya tertawa kecil mendengarnya, setelah kemudian terucap kata-kata.
“ Kenapa mas tidak datang saja ke Kyai Fadil, atau Kyai Mustofa atau mungkin ke Kyai Fahmi, minta tolong beliau mungkin bisa diatasi dengan cepat! Kalau hanya perdebatan yang terjadi di sekolah karena faham yang berbeda, kapan ada solusi?” ujar istriku sambil mengernyutkan dahinya. Aku agak kaget dengan tawaran itu, kenapa tidak ku lakukan mulai awal. Mungkin saja, Kyai Fadil yang ku kenal sering tirakat dalam hidupnya dan bisa mengendalikan jin. Bahkan kabarnya ada beberapa jin yang belajar agama padanya. Tempatnya di salah satu bukit kurang lebih tiga puluh lima kilo meter dari rumahku. Atau mungkin Kyai Mustofa, ahli tasawuf yang telah mencapai derajat kasyaf, sangat bisa untuk kumintai tolong, meskipun untuk menuju kediamannya harus nyeberang ke pulau kecil naik perahu. Itupun tidak mudah, karena kadang tidak ada perahu yang mau kesana, kalau tidak banyak penumpang. Mungkin juga minta tolong ke Kyai Fahmi yang ada di luar kota, tapi kadang sulit ditemui karena sering ngisi pengajian di mana-mana.
“ Tapi apa usulmu itu bisa disetujui pihak sekolah, aku takut malah jadi prasangka buruk dik”, ku coba meyakinkan istriku.
”Lho mas ini gimana, ya gak usah bilang dulu pada siapapun, mas hubungi dulu Kyai, bagaimana tanggapannya, baru diskusikan ke Kepala Sekolah”, istriku memantapkan.
Tapi orang yang bisa kuhubungi mungkin hanya Kyai Fadil atau Kyai Fahmi, kalau Kyai Mustofa rasanya sulit sekali. Aku geser tombol handphone, lalu ku cari nama K. Fahmi.
“Haloo, Assalamu’alaikum”, Kyai Fahmi menyahut. “,Waalaikum salam”, Kyai ada dimana sekarang, saya ada kepentingan”, tanyaku.
“ Oh,,,maaf saya ada di Tasikmalaya, menghadiri khaul akbar pendiri pesantren di sini, setelah itu ke Banten dan Lampung, mungkin disana sekitar dua minggu, karena ada serentetan pengajian, ada apa ya?” tanya Kyai Fahmi. Aku utarakan maksudku padanya secara garis besar, kemudian Kyai Fahmi menjawab.
“ Memang sekarang lagi tren kesurupan di sekolah-sekolah. Bahkan pesantren dekat saya, banyak santriwatinya yang kesurupan juga. Itu rata-rata menimpa siswi. Menurut analisisku, lingkungan sekolah itu kurang tercipta keserasian, keharmonisan, dan kurang kondusif. Mungkin terlalu banyak jiwa-jiwa yang lupa Tuhan, terlalu serakah akan keduniaan dari para penghuninya. Hal-hal yang batin itu akan memudahkan jin yang sebenarnya kontra produktif dengan alam manusia mudah saja masuk.”
“Jadi Pak Kyai?”sambungku penuh selidik.
“Ya harus diciptakan suasana ketenangan lahir batin. Dan ketenangan itu hanya akan sempurna melalui zikrullah, bukankah telah dipertegas oleh Allah, Ala bizikrillahi tatmainnalqulub, bahwa zikir yang banyak dan terus-menerus itu akan membuat suasana tenang.”
“Tapi Pak Kyai?”Sebelum selesai aku bicara, Kyai Fahmi menyambungnya lagi.
”Begini, selama belum tercipta harmoni di sekolah Anda, sulit jin itu untuk keluar dari lingkungan sekarang.”
“Maksudnya harmoni dalam pelangi Pak Kyai?” aku meyakinkan.
“Cocok sekali, harmoni tidak selalu tercipta dalam keadaan seragam, justru dengan perbedaan, istilah harmoni itu muncul, he he.” Tawa kecil Kyai Fahmi membuatku terkesimak sejenak, sebelum ku ucapkan.
“Terima kasih Pak Kyai, Assalamu’alikum.”
“Walaikum salam warohmah”. Kyai Fahmi mengakhiri pembicaraan.
Aku jadi banyak berfikir tentang kondisi sekolah, memang sih, banyak perbedaan prinsip di sekolah, tapi saya pikir tidak terlalu terjadi clash. Tapi bagaimana caranya membuat “harmoni dalam pelangi” seperti yang diutarakan Kyai Fahmi. Aku tidak lebih hanya guru biasa. Tapi aku pikir, seperti yang dilakukan Bu Asri kadang mengena juga, dia bisa membuat cair suasana yang tegang dan buntu. Ah, agaknya aku harus banyak mendekati Bu Asri, meskipun ia tidak banyak bicara karena orang eksakta, tapi kekonyolannya selama ini membuat aku kagum. Aku besok harus ketemu dan mulai mendekat pada Bu Asri, diskusi dengan dia soal sekolah atau apa saja. Mungkin juga menanyakan tentang usulnya atau leluconnya yang mempermalukan Pak Saiful dan Pak Agus di depan siswa tempo hari.
Lamunanku tiba-tiba dihentikan oleh suara tangis anakkku yang masih berumur satu tahun lebih tiga bulan, Muhammad Bustanul Arifin. Sengaja, anakku yang pertama ini kuberi nama itu, untuk mengenang masa laluku dengan Kyai Bustanul Arifin, guru spiritualku yang telah membimbingku dalam memahami hakikat agama. Seorang ahli tasawuf yang telah mencapai Hubbullah dan Kasyaf Billah, tapi sekarang tidak tahu kemana dia pergi. Istriku muncul ke serambi depan sambil mengendong Bustan.
“Gimana mas, dengan Kyai Fahmi?” tanya istriku.
“ Iya, intinya Kyai Fahmi menekankan tentang ketenangan jiwa seluruh warga sekolah. Persepsiku tentang apa yang dikatakan Kyai Fahmi, jadi tidak diusir dengan apapun, kalau tercipta seperti itu, sudah akan pergi sendiri,” kataku meyakinkan.
“Tidak coba menemui Kyai Fadil?” istriku menambahkan.
“Iya kalau sempat besok atau lusa saya kesana.”
“ Ya besok saja, kan hari libur?” desak istriku.
Setelah mengucapkan salam dua kali, Kyai Fadil muncul dari belakang rumahnya yang terbuat dari tabing, namun seratnya halus, sehingga kelihatan anyamannya rapi. Nampak Kyai Fadil baru selesai memberi makan kuda peliharaannya.
Setelah bercerita panjang banyak hal, mulai dari kuda peliharaannya sampai hal-hal yang gaib, aku mengutarakan apa yang ada pada benakku, tentang kesurupan massal di sekolah. Kyai Fadil hanya tersenyum mendengar keluhanku.
“ Jin itu kan sama dengan kita, juga makhluk Allah, jadi tidak usah dikhawatirkan,” tegas Kyai Fadil. Kemudian Ia menyambungnya
“ Rukyah itu hanya bisa membuat sakit jin kafir, atau mungkin bisa terbakar, tapi yang lain bisa datang lagi, iya kan?”
“ Pada akhirnya juga pergi, tidak perlu dirisaukan, mungkin hanya sedikit cobaan saja, perbanyak saja zikir”. Aku hanya mengiyakan saja ucapan Kyai Fadil, setelah itu aku mohon diri.
Keesokan harinya, setelah sampai di pintu sekolah, suasana lain dari biasanya. Gemuruh bacaan ayat-ayat pendek Al-Quran dibaca semua siswa tiap kelas. Aku mendapati Bu Asri duduk di kantin sambil minum teh manis buatan Mak Leha.
“Lho, kenapa Bu Asri duduk di sini, tidak ikut ngaji di kelas-kelas?” tanyaku penuh selidik.
“ Lho, ya gak dong, saya kan tidak termasuk golongan manusia-manusia kesurupan, logikanya kan begitu, iya kan?” sambil mengunyah roti.
“ Iya juga Bu, tapi siapa yang dimaksud Bu Asri manusia-manusia kesurupan itu?
“ Wah, sampeyan mulai memancingku terus untuk ngomong, jangan-jangan sampeyan termasuk golongan-golongan yang kesurupan itu, iih, aku ke perpustakaan dulu deh,” selorohnya.
Aku dibuat kaget lagi termasuk Mak Leha yang senyum-senyum dengan statemen-nya yang penuh misteri. Tapi ini kesempatan bagiku untuk mendekat padanya, mumpung dia ada di perpustakaan. Aku segera beranjak menuju perpustakaan, kulihat Bu Asri sibuk membenahi buku-buku yang habis dibaca siswa. Bu Asri memang mendapat tugas tambahan dari Kepala Sekolah sebagai pengelola perpustakaan sejak Pak Bambang, satu-satunya pustakawan di sekolah ini mutasi ke luar daerah. Aku coba membantu Bu Asri menata kembali ke lemari, buku-buku yang berserakan di meja baca. Setelah tubuhku berada tidak jauh dari Bu Asri, baru ku katakan padanya.
“ Bu, saya tidak habis pikir dengan sekolah kita, acara-acara istigasah, zikir, mengundang ustad, orang pintar, kok belum bisa menyelesaikan masalah?” Menurut Bu As gimana coba, terbuka saja Bu, saya se-visi dengan Bu As”.
“ Saya capek bicara itu. Sebenarnya, yang lebih dulu kesurupan itu siapa sih? siswa yang diserang jin-jin itu, atau sistem di sekolah kita, atau pengelola, atau beberapa guru yang bukan lagi taraf kesurupan tapi sudah gila kali ye?” sambil memandangiku.
“Maksud Bu As, apa sistem di sekolah kita, Pengelola, Kepala Sekolah, Wakasek, guru-guru semua ikut mempengaruhi terjadinya kesurupan yang menimpa siswa, begitu?” aku coba mempertegas.
“ Coba lihat itu, siapa itu yang kesurupan dan gila?” pinta Bu As segera.
Aku coba mengintip dari balik jendela perpus kea rah yang ditunjukkan Bu As. Kulihat, Pak Kohar sedang memukul beberapa siswa dari rotan sambil menyuruh siswa berjalan jongkok di halaman sekolah. Dua orang siswa jatuh karena kepayahan. Setelah itu mereka disuruh cepat masuk ke kelas. Bu As hanya tersenyum sinis.
“Sebentar lagi, perpustakaan ini akan dibagi dua bagian untuk dijadikan kelas-kelas baru. Mak Leha akan diusir dari sekolah dengan pelan-pelan, karena tempat Mak Leha berjualan yang sudah bertahun-tahun sejak sekolah ini berdiri akan dibangun kelas baru hasil sumbangan siswa baru tahun ini”, kata Bu Asri penuh kekecewaan.
“Lalu perpustakaan dan Mak Leha dipindah kemana?” tanyaku.
“ Ya saya tidak tahu, mungkin akan terkubur selamanya, demi memuaskan nafsu memperbanyak siswa. Semakin banyak siswa, kan semakin besar dana yang di dapat dari pemerintah?” Sampeyan seperti orang baru tahu dunia pendidikan saja!”
Kali ini statemen Bu Asri benar-benar membuatku terbelalak. Kaget karena Bu Asri yang ku kenal sosok pendiam, kalau bicara pelan, dan tidak banyak tingkah seperti guru-guru lain. Maklum dia masih punya garis keturunan “darah biru” Keraton Solo Kini, aku sadar Bu Asri seorang yang menyimpan misteri dan kritis ditengah kelembutannya itu.
“Lalu?” tanyaku menuntut penjelasan berikutnya.
“ Lha, iya toh, seperti yang kita lihat barusan, sebenarnya yang kesurupan itu siapa? Siswa itu selama ini merasa tertekan dan stres dengan sistem kedisplinan yang dibangun. Kebanyakan dari kita salah memahami kedisiplinan. Disiplin itu harus lurus tegak mengikuti semua aturan dan kedisiplinan menurut mereka identik dengan keras. Akhirnya menerapkan kedisiplinan pada siswa harus dengan kekerasan, militerisme. Nah, ini yang berbahaya bagi konstruksi proses pembentukan watak siswa. Kalau pikiran dan tenaga siswa sudah loyo, apa bisa mereka belajar? Paling beruntung mereka tidur di kelas waktu pelajaran atau tragisnya mereka mudah kesurupan karena sudah stres. Kondisi ini diperparah dengan sebagian guru yang kesurupan “gila hormat”. Mereka menganggap akan disegani siswa, apabila bersikap dan bertindak keras kepada siswa dalam kondisi apapun. Padahal, sekarang bukan zaman begituan, sekarang tidak lagi menghargai otot, tapi intelektualitas.”
“Coba saja kita cermati, sistem pembelajaran di sekolah ini yang kurang menghargai keberadaan dan kreativitas siswa. Siswa yang penting belajar di dalam kelas, tidak boleh belajar di luar kelas. Dikonstruk pemahaman bahwa belajar itu ya penjelasan guru, ya di kelas, tidak dengan yang lain atau di lain tempat. Apa kita tidak ingat terminologi Paulo Freire, belajar di sekolah bukan justru membebaskan, malah menjerumuskan pada hegemoni pemikiran dan membelenggu kreativitas. Siswa akan “stres” berkepanjangan, tidak lagi menemukan kebebasan dan kesenangan mereka dalam belajar. Tidak ditemukan lagi seperti dulu, ketika mereka belajar di Taman Kanak-Kanak yang menyenangkan, belajar sambil bernyanyi dan bermain. Saya pernah lho, dulu membawa tape recorder kecil waktu pelajaran, lalu sambil mengerjakan soal-soal di kelas, siswa saya perdengarkan lagu-lagu slow dan pop, ada siswa yang saya beri kebebasan mengerjakan tugas di luar kelas, boleh di kebun sekolah, halaman rumput, atau perpustakaan ini. Waduh, saya dapat tegoran keras dari para pimpinan sekolah ini, karena dianggap ide gila dan lalai mengawasi siswa. Apakah fenomena itu bukan disebut kesurupan “sistem tak mencerdaskan?”
“Lalu menurut Bu Asri, kita harus memulai dari mana?” tanyaku lagi.
“Ya, saya juga tidak paham. Saya sudah cukup santai dan tenang lebih banyak di perpustakaan. Melayani siswa kalau perlu bahan bacaan dengan senang, daripada ikut campur urusan mereka. Kesurupan siswa yang menggejala sekarang, tidak ada artinya sama sekali dibandingkan dengan kesurupan-kesurupan lain yang terjadi di luar siswa. Bayangkan, sampeyan mungkin tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar, kasus kesurupan “asmara” antara sebagian guru di sekolah ini. Itu sebagian kecil saja, kasus “ tinju-tinjuan” antara Pak Saiful yang fanatik agama dan Pak Agus yang agak percaya perdukunan tempo hari telah membuat kita malu di mata siswa. Coba kita cermati lagi, debat kusir waktu rapat dikarenakan hanya beda faham keberagamaan yang mengakibatkan mereka salah paham, bukan fahamnya yang salah. Kondisi ini makin tidak karuan, karena para pimpinan sekolah ini tidak mau mencermati dengan bijak, apa yang terjadi di sekolah ini yang berkepanjangan, yang ada mereka hanya cari sensasi rebutan “proyek” untuk dikorupsi. Di benak mereka syahwat kekuasaannya sangat besar, agar kekuasaan mereka tetap bertahan dan bisa untung secara material dengan jabatannya. Siswa hanya dianggap sapi perahan saja, yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Kalau begitu, siapa yang pantas disebut kesurupan?” Bu Asri sambil memandangku dengan tajam.
“Kalau begitu sudah rusak dunia pendidikan kita Bu?” Saya kira fenomena ini terjadi dimana-mana, di lembaga manapun baik lembaga sekolah milik pemerintah maupun swasta, atau bahkan lembaga pesantren sekalipun.” Tiba-tiba aku teringat cerita Kyai Fahmi tempo hari, justru pesantren yang juga terjadi kesurupan massal. kapan kondisi ini akan berakhir.
“ Saya kurang paham, tapi kayaknya begitu.” Sambil meletakkan Koran Harian yang dipegangnya sejak tadi Bu Asri mohon diri untuk ngajar.
“ Lain kali kita sambung lagi ya”, katanya lirih padaku. Aku hanya tersenyum melihat langkah Bu Asri yang pelan namun penuh makna.
“ Terima kasih Bu Asri, telah membuka pikiranku kembali dalam memahami kebenaran di tengah fenomena yang penuh kegilaan ini”, gumamku dalam hati.
Sambil melangkahkan kakiku ke ruang guru. Aku berpikir; benar apa yang dikatakan Kyai Fahmi, hanya ketenangan yang bisa membuat hati cemerlang untuk memahami persoalan. Mungkin saja, kesurupan siswa merupakan cobaan atau tegoran dari Tuhan seperti yang dikatakan Kyai Fadil.Untuk diambil pelajaran oleh seluruh warga sekolah, bahwa selama ini apa yang mereka perbuat salah. Penuh niat “terselubung” dan tersembunyi layaknya jin-jin dengan sifat tersembunyi yang menyerang siswa. Bukan niat untuk memberdayakan siswa, tetapi menjadikan mereka sumber keuntungan pribadi, kekuasaan, dan materi. Aku terus menghubung-hubungkan hal-hal yang diungkap Bu Asri tadi dengan kejadian yang menimpa siswa akhir-akhir ini. Menganalogikan kesurupan siswa dengan kesurupan-kesurupan yang menimpa dunia pendidikan saat ini seperti yang diistilahkan Bu Asri memang ditemukan titik korelasinya.
Lamunanku dibuyarkan oleh bunyi bel pergantian jam ke empat. Aku bergegas mengambil tas di meja kerja, lalu melangkah ke kelas. Tiap kali berpapasan dengan siswa di depan kelas, aku teringat selalu kata-kata Bu Asri. Rasa haru, simpati, dan sayang pada siswa yang menyelimuti benakku melihat kepolosan mereka, penuh hormat padaku dan pada guru yang lain bila berjumpa di jalan. Pertanyaan yang mengiang di telingaku selalu, akankah aku tega melukai hati mereka yang tulus? Mereka selalu membuang ego-nya dengan senyum dan menyapa dengan hormat bila berpapasan dengan gurunya, meskipun kadang dalam benak mereka penuh masalah keluarga dan masalah pribadi. Akankah kemurnian dan niat mereka yang tulus untuk belajar direcoki oleh sikap-sikap yang telah diungkap Bu Asri tadi saat di perpustakaan. Aku hanya berharap, semoga tercipta keharmonian dan ketenangan abadi di sekolah ini.
Catatan istilah:
Odeng = sejenis peci yang melilit dari kain khas Madura.
Kendi = semacam tempat air yang terbuat dari tanah liat, seperti ceret
Tabing = dinding rumah yang bahan bakunya dari bambu yang telah di potong-potong memanjang dan dianyam.
(cerpen ini pernah diikutkan lomba menulis cerpen Depdiknas 2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
HMMMMM BLM CMPT BACA
YA DIBACA DONG. TRIMS
Posting Komentar