Puasa syariat itu ada batas waktunya. Sedeangkan Puasa thoriqoh
senantiasa abadi tak terbatas seumur hidupnya. Itulah yang disabdakan
oleh Rasulullah saw:
“Betapa banyak orang berpuasa tetapi puasanya tidak lebih melainkan hanya rasa lapar…” (Hr. Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Karena itu disebutkan, betapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan betapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti manusia secara fisik, seperti firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy:
“Puasa itu untuk Ku dan Aku sendiri yang membalas pahala puasa.” (Hr. Bukhori)
“Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika memandang Keindahan Ku.”
Bagi Ulama syariat dimaksud dengan berbuka adalah makan ketika matahari maghrib, dan melihat bulan di malam Idul Fitri. Sedangkan ahli thoriqoh menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dengan Allah Ta’ala di hari qiyamat nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata.
Sedangkan Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy:
“Manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya.”
Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah swt, hingga ia tidak berpaling selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat.
Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah swt dan bertemu denganNya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat.
“Betapa banyak orang berpuasa tetapi puasanya tidak lebih melainkan hanya rasa lapar…” (Hr. Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Karena itu disebutkan, betapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan betapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti manusia secara fisik, seperti firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy:
“Puasa itu untuk Ku dan Aku sendiri yang membalas pahala puasa.” (Hr. Bukhori)
“Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika memandang Keindahan Ku.”
Bagi Ulama syariat dimaksud dengan berbuka adalah makan ketika matahari maghrib, dan melihat bulan di malam Idul Fitri. Sedangkan ahli thoriqoh menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dengan Allah Ta’ala di hari qiyamat nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata.
Sedangkan Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy:
“Manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya.”
Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah swt, hingga ia tidak berpaling selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat.
Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah swt dan bertemu denganNya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar