Oleh
Imam Suhairi,M.Pd
Ketika membaca judul buku Gus Dur yang satu ini, sebagian gelisah, bertanya, kenapa dan kok begitu? Mungkin ada yang marah, kesel, menghujat dan sejenisnya. Mungkin ada juga yang menuduh bahwa judul buku itu penodaan salah satu agama. Atau bisa dituduh sebagai orang kafir bahkan atheis. Namun, lebih baik baca sampai tuntas, setelah itu marilah kita renungkan bersama-sama.
Buku yang ditulis KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yakni“Tuhan Tidak Perlu Dibela”yang diterbitkan oleh LkiS (1999). Isi berisi kritik mendasar terhadap pengetahuan, pemikiran, dan gerakan yang ditampilkan oleh komunitas Muslim yang saat itu lebih senang menampilkan sosok sektarianisme. Lebih lanjut, buku ini mencerminkan sikap Gus Dur untuk mengedepankan semangat kebersamaan, keadilan, dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi berbagai perkembangan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Intinya, buku ini mengajak kita untuk menampilkan sikap arif dalam hidup untuk tidak banyak mencela pemahaman agama orang lain, sekaligus menghormatinya dalam kerangka demokrasi dan hak asasi manusia.
Judul buku yang ditulis Gus Dur itu ternyata tidak salah. Bahkan, judul buku itu benar dilandasi pemahaman keberagamaan yang kuat dan mendalam. Judul tulisan di atas bukan mencerminkan pelecehan terhadap suatu agama tertentu. Bukan pula ucapan seorang yang kafir atau cenderung atheis. Bukan, tetapi justru merupakan sebuah ungkapan hati yang tulus dari seorang hamba di hadapan Tuhannya. Gus Dur sepertinya sengaja membalik logika berpikir kita selama ini. Cenderung kontroversial, tetapi setelah dipikir-pikir, ternyata masuk akal juga.
Statemen itu ternyata sejalan dengan ketahuidan. Dalam konteks ini, andaikan semua manusia di muka bumi ini tunduk beribadah kepada-Nya, maka hal ini tidak akan menambah kesempurnaan Tuhan yang memang telah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Andaikan semua manusia itu membangkang alias tidak patuh kepada-Nya, maka hal itu tidak akan menurunkan derajat kesempurnaan-Nya sedikit pun. Karena Dia adalah Tuhan, Maha dari Segala Maha. Pemiliki Segala Sesuatu. Maka sudah sepantasnya kalau Dia tidak perlu dibela atau tidak memerlukan pembelaan kita sebagai makhluk-Nya. Yang perlu dibela sebenarnya adalah manusia dengan segala keterbatasannya.
Pada konteks yang lebih ekstrim, amal ibadah yang kita lakukan bukanlah bertujuan untuk menaikkan derajat kesempurnaan Tuhan, tetapi sebenarnya untuk kita sendiri. Tuhan, hakikatnya bukan memerlukan kita untuk menyembah-Nya, tetapi manusialah yang perlu untuk menyembah-Nya. Semua amal ibadah kita akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri, bukan untuk Tuhan. Manifestasi ibadah yang kita lakukan hendaknya merupakan sebuah bentuk rasa syukur kita kepada-Nya sebagai abdu (hamba). Maka pengenalan (ma'rifatullah) adalah hal urgen yang harus dapat prioritas dalam kehidupan kita.
Buku Gus Dur ini juga telah memberikan semacam atokritik yang keras pada kaum agamawan (orang yang merasa dirinya paham dan dalam agama) yang sering melakukan gerakan radikal dengan mengatasnamakan seolah-olah demi kepentingan Tuhan. Gus Dur meletakkan dasar ketauhidan yang sebenarnya akan hakikat ketuhanan atas realitas gerakan sosial keberagamaan yang kerap terjadi dekade ini. Alhadratussyaikh Abdurrahman Wahid alias Sunan Gus Dur sebenarnya telah benar-benar membela Tuhan dalam bukunya yang kontroversial " Tuhan Tidak Perlu Dibela". Alfatihah untuk Gus Dur.
Buku yang ditulis KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yakni“Tuhan Tidak Perlu Dibela”yang diterbitkan oleh LkiS (1999). Isi berisi kritik mendasar terhadap pengetahuan, pemikiran, dan gerakan yang ditampilkan oleh komunitas Muslim yang saat itu lebih senang menampilkan sosok sektarianisme. Lebih lanjut, buku ini mencerminkan sikap Gus Dur untuk mengedepankan semangat kebersamaan, keadilan, dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi berbagai perkembangan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Intinya, buku ini mengajak kita untuk menampilkan sikap arif dalam hidup untuk tidak banyak mencela pemahaman agama orang lain, sekaligus menghormatinya dalam kerangka demokrasi dan hak asasi manusia.
Judul buku yang ditulis Gus Dur itu ternyata tidak salah. Bahkan, judul buku itu benar dilandasi pemahaman keberagamaan yang kuat dan mendalam. Judul tulisan di atas bukan mencerminkan pelecehan terhadap suatu agama tertentu. Bukan pula ucapan seorang yang kafir atau cenderung atheis. Bukan, tetapi justru merupakan sebuah ungkapan hati yang tulus dari seorang hamba di hadapan Tuhannya. Gus Dur sepertinya sengaja membalik logika berpikir kita selama ini. Cenderung kontroversial, tetapi setelah dipikir-pikir, ternyata masuk akal juga.
Statemen itu ternyata sejalan dengan ketahuidan. Dalam konteks ini, andaikan semua manusia di muka bumi ini tunduk beribadah kepada-Nya, maka hal ini tidak akan menambah kesempurnaan Tuhan yang memang telah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Andaikan semua manusia itu membangkang alias tidak patuh kepada-Nya, maka hal itu tidak akan menurunkan derajat kesempurnaan-Nya sedikit pun. Karena Dia adalah Tuhan, Maha dari Segala Maha. Pemiliki Segala Sesuatu. Maka sudah sepantasnya kalau Dia tidak perlu dibela atau tidak memerlukan pembelaan kita sebagai makhluk-Nya. Yang perlu dibela sebenarnya adalah manusia dengan segala keterbatasannya.
Pada konteks yang lebih ekstrim, amal ibadah yang kita lakukan bukanlah bertujuan untuk menaikkan derajat kesempurnaan Tuhan, tetapi sebenarnya untuk kita sendiri. Tuhan, hakikatnya bukan memerlukan kita untuk menyembah-Nya, tetapi manusialah yang perlu untuk menyembah-Nya. Semua amal ibadah kita akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri, bukan untuk Tuhan. Manifestasi ibadah yang kita lakukan hendaknya merupakan sebuah bentuk rasa syukur kita kepada-Nya sebagai abdu (hamba). Maka pengenalan (ma'rifatullah) adalah hal urgen yang harus dapat prioritas dalam kehidupan kita.
Buku Gus Dur ini juga telah memberikan semacam atokritik yang keras pada kaum agamawan (orang yang merasa dirinya paham dan dalam agama) yang sering melakukan gerakan radikal dengan mengatasnamakan seolah-olah demi kepentingan Tuhan. Gus Dur meletakkan dasar ketauhidan yang sebenarnya akan hakikat ketuhanan atas realitas gerakan sosial keberagamaan yang kerap terjadi dekade ini. Alhadratussyaikh Abdurrahman Wahid alias Sunan Gus Dur sebenarnya telah benar-benar membela Tuhan dalam bukunya yang kontroversial " Tuhan Tidak Perlu Dibela". Alfatihah untuk Gus Dur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar