Selasa, 07 September 2010
Rekonstruksi Makna Puasa
Rekonstruksi Makna Puasa
Oleh
Imam Suhairi*
Gaung puasa Ramadan terasa dimana-mana. Mesjid dan surau mulai dari pusat kota sampai pelosok kampung yang sebelumnya sepi, sejak hadirnya bulan Ramadan ramai dengan aktivitas keagamaan. Tidak terkecuali, pusat-pusat perbelanjaan penuh dengan antrian orang. Menariknya, penjual musiman di trotoar-trotoar jalan untuk kebutuhan takjil dan sahur serta berlebaran muncul bak jamur, ikut menyemarakkan aktivitas Ramadan.
Kehadiran bulan Ramadan telah menciptakan profit tersendiri bagi para pedagang. Selama satu bulan mereka diberi kesempatan berkelana untuk menarik konsumen yang tiada lain adalah kaum muslim. Sementara konsumen, harus menganggarkan dana lebih dalam menunaikan segala kebutuhannya selama Ramadan dan Idul Fitri nanti.
Kerepotan Sosial
Tidak mengherankan, apabila pusat-pusat penjual makanan jelang buka puasa selalu diserbu para pembeli untuk memenuhi selera mereka. Aktivitas ibu-ibu tidak kalah sibuk, mereka harus kerja ekstra menyiapkan menu buka dan sahur mulai siang dan malam hari. Menjelang hari raya, mereka juga akan disibukkan dengan kebutuhan lebaran dan tuntutan barang-barang yang serba baru.
Itu terjadi karena tradisi di masyarakat kita, berpuasa di bulan Ramadan tidak sekedar dipahami menahan haus dan lapar serta nafsu seks mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Juga melibatkan banyak aspek sosial yang melingkupi dan menjadi tuntutan tradisi.
Tradisi menyiapkan buka dan sahur dengan serba mewah adalah salah satunya. Tradisi buka puasa bersama yang kadang cenderung hanya jadi ajang kedirian (riya’), untuk dikatakan bahwa dirinya mampu memberi buka puasa relasi bisnis, sanak famili, dan tetangganya.
Kita juga disibukkan dengan persiapan perhelatan lebaran dengan serba baru. Yakni dengan memborong pakaian dan belanjaan untuk kebutuhan diri dan mungkin untuk dibagi-bagikan kepada sanak keluarga yang ada di kampung. Namun, hal itu kadang dilakukan bukan sebagai bingkai solidaritas sosial yang murni dan ikhlas lillah, tetapi hanya ingin menunjukkan keberhasilan diri.
Di belahan lain, sejak awal puasa Ramadan telah direpotkan dengan persiapan mudik lebaran. Perusahaan-perusahaan jasa transportasi mulai sibuk dengan angkutan mudik. Sementara para pemudik, telah memesan tiket sejak awal puasa. Mereka juga direpotkan dengan barang-barang yang akan dibawa ke kampung mudik. Satu sisi, puasa telah menciptakan kerepotan sosial.
Hakikat Puasa
Komplit sudah, puasa yang kita jalani kebanyakan telah tergerus oleh kesibukan dan kerepotan sosial sempit makna. Puasa tidak mampu lagi memberikan perubahan derajat kehambaan kita dihadapan Tuhan. Puasa hanya terjebak pada tradisi dan rutinitas yang merepotkan jiwa dan jasmani. Yang menurut M Hilaly Basya, bahwa puasa dimaknai hanya sebagai tradisi yang tidak mampu didialogkan secara bermakna.
Upaya membangun kembali makna puasa harus diawali oleh kesadaran diri akan hakikat tujuan perintah puasa. Kesadaran harus kembali tertanam utuh, bahwa berpuasa adalah “la’allakum tattaquun”. Derajat taqwa akan mengalahkan kesibukan dan kerepotan hidup yang tidak sinergis dengan jalan ketuhanan.
Hujjatul Islam Imam Gazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin menetapkan arti taqwa ke dalam dua hal, yakni taqwa fardu, kemampuan menahan diri dari mengerjakan yang diharamkan oleh Allah. Yang kedua, taqwa adab, yakni menahan diri dari berbuat berlebih-lebihan dalam barang yang halal. Jika kita dapat mencapai kedua-duanya, yakni menahan diri dari mengerjakan haram dan dari perbuatan berlebih-lebihan dalam yang halal, maka tercapai taqwa yang sempurna (waro’kamil). Mencapai itu semua tentu dengan jalan riyadah melawan hawa nafsu. Yakni memelihara anggota tubuh dan hati dari maksiat lahir dan maksiat batin. Metode yang tepat untuk melawan hawa nafsu adalah lapar dan dahaga
Patut dicermati Sabda Rasulullah melalui Ibnu Abbas ra. bahwa “ tidak akan bisa memasuki istana langit, orang yang penuh perutnya”. Dengan puasa, minimal dapat menghilangkan syahwat lahir, juga dapat membersihkan hati, melembutkannya, dan akhirnya dapat mengantarkannya ke arah ma’rifatullah (kenal akan hakikat ketuhanan). Seorang Sufi, Sahl At Tasturi mempertegas keutamaan puasa “ sekarang ini adalah masa yang tiada seorang pun memperoleh keselamatan kecuali dengan mengendalikan hawa nafsunya. Mengendalikannya hanya dengan lapar dan dahaga, qiyamul lail, dan rajin ibadah. Mudah-mudahan dengan puasa tahun ini, kita dapat kembali pada makna hakiki dari puasa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar