Peta
berpikir Amerika Serikat meletakkan almarhum Gusdur setataran dan
se”wilayah jihad” dengan Martin Luther King Jr. Consulate General of the
United States of America di Surabaya “memproklamasikan” itu dalam
acara “Tribute to Gusdur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism
Diversity and Democracy”.
Penyelenggara menerapkan
kearifan nilai yang perlu diteladani, dengan meletakkan saya yang
ber-track-record di wilayah perjuangan kedamaian, pluralisme dan
demokrasi – justru sebagai pendamping pembicara utama, yakni Alissa,
putrinya Gusdur sendiri.
Martin Luther terkenal dengan
ungkapannya “I have a dream”, Gusdur termasyhur dengan statement “Gitu
saja kok repot” yang “njangkungi” Indonesia, dunia dan kehidupan.
“Jangkung”
artinya tinggi. “Njangkungi” atau menjangkungi artinya mengatasi,
membereskan, mengungguli, mrantasi. Sebesar-besar masalah,
setinggi-tinggi persoalan, “dijangkungi” oleh Gusdur. Martin Luther
King masih berposisi “Aku mendambakan”, Gusdur “sudah mencapai”. Gusdur
berbaring sambil senyum-senyum dan nyeletuk “Gitu saja kok repot”.
Wakil
dari komunitas Konghucu menangis-nangis terharu oleh kasih sayang
Gusdur yang membuat mereka memperoleh ruang dan kemerdekaan menjadi
dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa tokoh HMI dan Muhammadiyah, yang
ber”nasab” Masyumi, mendatangi saya di pojok ketika istirahat ngopi:
“Cak, Konghucu bagian enak. Kami ini yang dapat asem kecut. Gusdur
tidak pernah bersikap enak kepada semua yang indikatif Masyumi. ICMI
belum berdiri saja sudah dimarah-marahin oleh Gusdur…”
Saya
menjawab, “itu justru karena Gusdur meyakini kalian sudah sangat
mandiri dan kuat, sehingga tidak perlu disantuni, malah dikasih
tantangan, kecaman dan sinisme, supaya bangkit harga diri kalian”.
Peta
politik, perekonomian, kebudayaan dan apapun, sangat dikendalikan oleh
konstelasi kedengkian kelompok, kepentingan sepihak dan kebodohan
publik, yang menciptakan mapping gang-gang dan jejaring
inter-manipulasi subyektif golongan. Atas dasar psiko-budaya politik
semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan dirumuskan. Barang
siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal konstitusional:
kaum independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.
Maka
kepada teman-teman yang mengeluh itu saya berfilsafat: “Kalau Anda
kain putih, kotoran sedebu akan direwelin orang. Kalau ada gombal
bosok, kotor seperti apapun tidak dianggap kotoran. Tinggal Anda mau
milih jadi kain putih atau gombal”.
HAM
Di samping
HAM, ada WAM: wajib asasi manusia, tapi tidak saya tulis di sini. Yang
pasti Martin Luther King adalah “Mbah”nya semangat HAM, Gusdur penikmat
HAM. Martin Luther berjuang memerdekakan manusia, Gusdur adalah
manusia paling merdeka. Kalau pakai idiom Islamnya Gusdur sendiri:
Martin Luther berjuang pada tahap “da’wah bilisanil qoul” (menganjutkan
dengan kata-kata), sedangkan Gusdur “amal bililasil-hal” (melakukan
dan menteladani dengan perilaku).
Andaikan yang
didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin Luther King
tetap begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan memperjuangkan hak-hak
kaum hitam di Amerika, melainkan menempuh perjalanan menuju keadilan
universal bagi seluruh dan setiap ummat manusia. Bukan “hitam”nya yang
dibela, melainkan “hak kemanusiaan”nya. Bukan kulitnya, tapi manusianya.
Atas
aspirasi pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gusdur, Pasukan
Banser selalu siap siaga menjaga Gereja-gereja setiap Natal atau hari
penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara
Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat kuat
dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah
pelatihan-pelatihan iman, uji militansi dan ketahanan juang. Kaum
Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh keyakinannya.
Gusdur
adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya, namun sangat
keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri, dengan hajaran
dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya Jombang, agar supaya
anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu “diancup-ancupno ndik
jeding” (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi), “dibatek
ilate” (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau
“disambleki mbarek sabuk lulang” (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).
Diskriminasi
Kehidupan
ummat manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin memang selamanya
demikian, selalu hiruk pikuk oleh silang sengkarut diskriminasi,
berbagai-bagai jenis, konteks dan modus diskriminasi. Ada diskriminasi
rasial, diskriminasi kultural, diskriminasi eksistensial, diskriminasi
primordial, bahkan diskriminasi teologis dan natural. Peristiwa
diskriminasi penuh ambiguitas, melingkar-lingkar, berlipat-lipat,
letaknya bersama keadilan universial seringkali berdampingan, bahkan
teramu menjadi sebuah kesatuan.
Mungkin sekali
diskriminasi dijelaskan dengan terpaksa menerapkan diskriminasi di sana
sini. Diskriminasi adalah aplikasi ketidakadilan pada konteks-konteks
yang berkaitan dengan identitas, eksistensi, letak keberadaan atau
posisi dalam peta kehidupan. Sedangkan keadilan dan ketidakadilan
adalah puncak ilmu dan misteri yang mungkin saja tak pernah benar-benar
bisa dijangkau oleh managemen logika manusia. Oleh karena itu kita tak
boleh pernah berhenti mencari dan memperjuangkannya.
Sampai
hari ini yang kita capai baru “sorga seseorang adalah neraka bagi
lainnya”. Orang Jawa bingung tidak ada kata asli Jawa untuk “adil”.
Yang ada “pas” (akurat, tepat), “empan papan” (proporsional). Peradaban
Jawa sangat beraksentuasi ke kebudayaan estetika atau “keindahan”,
sementara “kebenaran” dan “kebaikan” adalah bagian dari rangkaian
peradaban keindahan Jawa, yang puncaknya adalah “mamayu hayuning
bawana”: memperindah keindahan jagat raya.
Sehingga dalam
praksis budaya masyarakat Jawa muncul etos “jangan mo-limo, nggak enak
sama tetangga”, “silahkan maling, tapi jangan di sini”. Jadi akar
masalahnya bukan pada hakekat kebenaran dan kebaikan, melainkan pada
upaya untuk “tampak indah”. Yang disepakati adalah norma kolektif untuk
tampak indah, bukan substansi nilai kebenarannya. Maka politik
pencitraan sangat diterima dengan tenteram oleh jenis kebudayaan ini,
meskipun jelas pencitraan adalah penipuan dan pemalsuan.
Kalau
dua anak kita belikan baju dengan warna yang sama, itu diskriminatif
terhadap hak estetika mereka. Kalau kita bebaskan mereka memilih selera
masing-masing, nanti perbedaan harga antara dua baju itu mengandung
diskriminasi. Kita bikin kurungan kecil untuk burung dara dan kandang
sangat besar untuk gajah: terjadi diskriminasi pada “yang satu dapat
gede, lainnya kecil”. Puluhan Parpol tidak lolos-KPU karena parameter
teknis-kwantitatif, sehingga anggota Parpol yang tidak lulus memperoleh
dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan aspirasi orisinalnya
dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya sendiri
dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan dengannya. Kalau
yang independen, sekali lagi: tiada.
Diskriminasi
eksistensial bercampur aduk dengan konteks diskriminasi kultural,
teologis dan berbagai-bagai lainnya. Diskriminasi terjadi ketika kerbau
diperlakukan sebagai kambing. Ketika Pemerintah disamakan dengan
Negara. Ketika rakyat malah melayani Pemerintah. Ketika manusia
diberhalakan, ketika Tuhan dikategorikan sebagai dongeng, atau ketika
dongeng dituhankan. Ketika sapi kita potong buntutnya doang karena
warung kita jualan sop buntut. Ketika manusia melintas di depan kamera
yang dipotret hanya borok di bokongnya. Ketika bungkus gula di warung
tidak ditulisi “Gula dapat menyebabkan sakit gula”.
Bahasa
jelasnya, sejarah bukan tidak mungkin mencatat tokoh yang banyak
melakukan tindakan diskriminasi justru sebagai tokoh anti-diskriminasi.
Bangsa
Amerika sudah melewati kurun waktu lebih panjang untuk lebih bisa
meletakkan Luther King pada makam sejarahnya, sementara Bangsa
Indonesia memerlukan waktu lebih panjang untuk memastikan posisi
Gusdur, apalagi kita sedang mengalami “era abu-abu” di mana masyarakat
mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh kebangsaan
mereka. Kita mengalami ambiguitas pandangan yang sangat serius kepada
Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya termasuk M.
Natsir, Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka, juga Gusdur.
Di Jombang semula akan diresmikan “Jalan Presiden Abdurahman Wahid”,
sekarang kabarnya kata “Presiden”nya dihilangkan.
Utamanya
kaum Nahdliyin (ummat NU) perlu menggiatkan upaya-upaya ilmiah
obyektif, penelitian yang seksama dan detail mengenai sejarah sosial
Gusdur. Secara keseluruhan Ummat Islam perlu membuktikan kejernihan
intelektual dan keadilan sejarah untuk membuka wacana-wacana adil
kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang. Pameo “sejarah itu
milik mereka yang menang” perlu ditakar prosentasenya pada peta
pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.
Para pecinta Gusdur
juga perlu segera mengeksplorasi upaya penelitian sejarahnya, untuk
mendapatkan ketegasan persepsi tentang Gusdur. Perlu ada semacam “Buku
Besar Gusdur” tentang benar-salahnya beliau selama kepresidenannya dan
impeachment atas kedudukan beliau. Dipertegas data-data sejarah dan
fakta-fakta sosial di mana dan kapan saja Gusdur memperjuangkan
keadilan, mendamaikan bangsa, dan mempertahankan kejujuran kemanusiaan.
Dibuktikan secara faktual dan detail bahwa Gusdur adalah pluralis
pemersatu: Pada peristiwa apa, kapan, di mana, Gusdur mendamaikan dan
mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan faktual untuk tegas menjawab
pertanyaan sinis: “Sebutkan apa saja yang tidak pecah setelah Gusdur
hadir”.
Terkadang ada niat saya bertanya langsung kepada
Gusdur di alam barzakh soal ini, tapi kwatir dijawab “Gitu aja kok
repot!”. Di samping itu saya kawatir juga karena di alam sana Marthin
Luther King tinggal sewilayah dengan Gusdur, maka orang-orang
memanggilnya “Gus Martin”.
Oleh: Emha Ainun Nadjib, Budayawan
Sumber: Kompas Cetak, Senin, 25 Februari 2013