Tulisan ini merupakan tulisan asli KH. AbdurrahmanWahid pada tahun
1982 yang tercecer dan mungkin belum sempat dibukukan. tulisan ini masih
relevan dengan kondisi bangsa saat ini, semoga bermanfaat.
“ Kasidah ”
Oleh: Abdurrahman Wahid
Ternyata, orangnya sudah setengah baya, sudah menemukan arti dirinya dalam hidup. Menjadi pemimpin sebuah kursus musik, melukis dan bahasa di bilangan Kebayoran. Ia telah mapan dan mulai mencari sesuatu yang bernilai lebih tinggi dari sekadar "menjalankan profesi". Dan itu ditemukannya dalam agama. Ternyata yang dipersoalkannya adalah kaitan antara profesinya sebagai musikus dan penghayatan agamanya.
Kepada saya mula-mula ditanyakannya: Apakah yang akan dikenakan Nabi Muhammad "seandainya beliau hidup di masa ini?" Tetap berjubah sajakah, seperti orang Arab dari pedalaman semenanjung bergurun luas itu? Ataukah justru mengenakan pakaian "lebih universal", seperti celana, dasi, dan jas.
Ini cara unik juga untuk memulai sebuah pembicaraan serius. Tapi diteruskannya dengan pengamatan bahwa setiap hari Jumat TVRI menyiarkan acara yang bernada Islam. Nah, yang menggelisahkan adalah seringnya lagu-lagu gambus Arab, atau juga kasidah modern, dibawakan di layar TVRI.
"Ini mengganggu saya sebagai orang yang berkecimpung di dunia musik," katanya. Sudah benarkah "kebijaksanaan" menjadikan kasidah sebagai "perwakilan musik Islam" di layar TV, dalam suatu rangkaian dengan uraian keagamaan dan pengajian Alquran? Benarkah yang dituju adalah seni "musik agama" yang akan membawa kepada kebesaran Tuhan? Kalau memang benar itu yang dituju, dengan kualitas acara yang disajikan sekarang, apa bukan sebaliknya yang terjadi? Saya balik bertanya kepadanya: Apakah yang sepatutnya dianggap sebagai musik yang mewakili Islam?
Jawabannya mengejutkan juga bagi saya :" Ya, yang universal, diakui di mana-mana, seperti lagu pop dan musik klasik. Asal jelas diisi pesan keagamaan, dan bermutu tinggi, dihargai orang dimana-mana." ?
Tertegun saya mendengar uraiannya. Teringat saya akan cerita Bung Syu’bah Asa: ada seorang pelukis yang menyebutkan ciptaan Beethoven sebagai "musik yang paling dekat dengan Tuhan".
Saya sendiri dapat merasakan bagaimana pelukis tersebut sampai kepada kesimpulan itu. Kelembutan dan keaslian alami Simfoni Pastoral Beethoven memang dapat mengantarkan kita kepada kebesaran alam, apalagi pencipta alam itu sendiri. Tetapi benarkah universalitas yang dituntut dari medium musik yang "mewakili Islam" itu harus lepas dari warna local tempat lahir Islam sendiri, tanah Arabia? Memang benar, penyajian vulgar dari "tari-tarian Arab" yang mengiringi musik kasidah di sini bermutu rendah dan tidak bisa diterima sebagai "citra Islam". Juga lirik Arabnya, yang tidak dimengerti bangsa kita, salah informasi. Belum lagi diingat mutu suara penyanyinya yang tampak tak pernah dibekali pengetahuan teoritis tentang musik dan latihan menyanyi di tangan ahli.
Tetapi, cukupkah deretan kelemahan itu, yang lebih bersifat teknis daripada substansial, untuk "menghukum mati" siaran kasidah di layar TV? Bagaimana kalau yang dimunculkan justru rekaman biduanita Fairuz dari Lebanon membawakan ciptaan suaminya (dengan lirik penyair Arab kaliber dunia, Khalil Gibran Khalil) berjudul A’tni an-Naya? Saya sendiri tidak pernah dapat lepas dari pengaruh lagu ini, yang judul Indonesianya berbunyi Berikan Padaku Seruling sudah berusia lebih dua dasa warsa. Seperti saya juga tak dapat lepas dari karya Beethoven dan Bach yang terasa membawakan keagungan dan kebesaran Tuhan.
Yang jelas, penyajian cara kasidahan sebagai representasi "musik Islam" dalam bentuknya sekarang memang harus ditolak. Kawan baruku ini benar seluruhnya dalam hal ini. Masalahnya lalu kembali pada pihak TVRI: mau berfungsi edukatif yang benarkah atau sekadar memperkirakan kesenangan kelompok formal keagamaan belaka?
Jakarta 30 Januari 1982
Sumber : Grup FB " Kongkow Bareng Gus Dur"