Rabu, 23 Maret 2011

Membangun Karakter Anak Melalui Tradisi“ Toron Tana “

Membangun Karakter Anak Melalui Tradisi“ Toron Tana “

Oleh 
Imam Suhairi 
Salah satu yang tak terlupakan dan terpatri serta wajib dilaksanakan oleh masyarakat Madura (khususnya Sumenep) adalah tradisi “toron tana”. Tradisi ini telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Madura dengan coraknya tersendiri. Sebagai salah satu penanda tradisi, “toron tana” memiliki kekhas-an tersendiri. 
Hal ini nampak dari motivasi dan pelaksanaannya. Tradisi “toron tana” atau turun ke tanah/menapaki tanah dilakukan menandai usia tujuh bulan pada seorang bayi.

Sesuai namanya turun ke tanah, saat itulah bayi dilambangkan untuk pertama kalinya menginjak tanah yang sebelumnya terus digendong. Tradisi ini digelar sebagai bentuk harapan agar kelak anak bisa menjadi orang yang berguna. Setidaknya menurut penulis, para orang tua telah menyimbolkan upaya membangun karakter yang baik dan luhur bagi anaknya. 

Kita bisa melihat dalam prosesinya, awalnya bayi dimandikan terlebih dulu. Sedangkan tamu - tamu yang diundang dalam tradisi ini adalah biasanya anak – anak semua. Hal ini dilakukan agar dalam proses turun ke tanah (toron tana) si anak/bayi dalam keadaan bersih lahir batin. Toron tana (turun tanah) dilambangkan awal bayi menginjak bumi yang dapat diartikan awal interaksi dengan lingkungan keduniaanya. Oleh karena itu sang bayi harus “edudus (dimandikan) dulu biar niatnya bersih. Setelah itu tokoh agama/masyarakat terdekat dimintai tolong untuk membacakan zikir dan doa bersama yang diikuti orang tua dan yang hadir. Ini bisa dimaknai, bahwa dalam proses mengarungi kehidupan anak manusia, tidak boleh lepas dari do’a kepada Allah selain ikhtiar yang telah dilakukan.

Prosesi berikutnya, bayi disuruh mengambil barang-barang yang telah disediakan didepannya yang biasanya diletakkan dalam nampan, seperti : buku, pulpen, tasbih, Al Qur'an, biji-bijian seperti kacang tanah, beras, jagung, uang dan lain-lain. agar kelak anak menjadi rajin, pintar dan tumbuh menjadi anak yang sholeh. Anak biasanya mengambil barang yang di hadapannya. Inilah puncaknya, yang menjadi pusat perhatian. Semua hadirin mengamati apa yang diambil sang bayi. Tidak jarang yang diambil oleh bayi, menjadi bahan kegembiraan dengan tertawa lebar. Ada yang mengatakan, apa yang dipegang bayi diyakini nanti akan disenanginya. Seperti mengambil Al-Qura’n, maka ia kelak akan menyenangi ilmu agama, kalau mengambil biji-bijian (beras, jagung,kacang), ia akan menyenangi bercocok tanam. Kalau ia mengambil buku dan bulpen kemungkinan ia kalau telah dewasa akan menjadi pembelajar yang pinter dan bekerja di kantoran. 

Proses ritual selanjutnya adalah menginjak bubur. Hal ini memiliki makna tersendiri agar kaki sang bayi kuat dan kokoh saat berjalan serta memiliki pijakan hidup yang kuat. Selanjutya bayi menyentuh tanah serta bermain dengan anak - anak sebayanya ditandai dengan makan bubur bersama. Diakhir acara, anak - anak ini diberi sentuhan sapu lidi dengan harapan anak tidak nakal dan patuh terhadap orangtua. Begitulah prosesi tradisi yang penuh dengan nilai luhur dan pemaknaan hidup yang dalam bagi kehidupan. Semoga tradisi tetap lestari dalam kehidupan kita sebagai simbol dan seperangkat nilai luhur yang kita miliki.

(Tulisan ini menjadi Pemenang Pertama Lomba Esai Budaya Kongkow Bareng Gus Dur online 2010)