Sabtu, 28 Agustus 2010

NAWANG : ANTARA PUSARAN MASYARAKAT MISKIN&TRADISI URBAN (KAJIAN SOSIOLOGIS NOVEL NAWANG KARYA DIANING YUDISTIRA)

NAWANG : ANTARA PUSARAN MASYARAKAT MISKIN&TRADISI URBAN (KAJIAN SOSIOLOGIS NOVEL NAWANG KARYA DIANING YUDISTIRA) Diajukan sebagai tugas Mata Kuliah Sosiologi Sastra yang dibina Dr Ainurrokhim, M.Pd Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Surabaya. Oleh Imam Suhairi,S.Pd NIM: 20092110003 2010 PENDAHULUAN Latar Belakang Karya sastra dipandang sebagian orang sebagai hal biasa dan tidak punya pengaruh apapun terhadap kehidupan. Hal ini dikarenakan bahwa karya sastra dianggap hanya hasil dari proses rekayasa pikiran manusia semata. Estetika bahasa yang dianggap berlebihan juga semakin melegitimasi pendapat bahwa sastra adalah bohong dan tipuan atau khayalan belaka. Ayal, sastra dianggap hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu untuk menikmatinya, yakni orang yang tidak punya kerjaan. Praktis, karya sastra dalam perspektif ini dianggap hanya sebagai salah satu media hiburan, tidak lebih dari itu. Tentu pandangan itu keliru. Karya sastra dalam proses ciptaannya tidak sekedar hasil lamunan semata yang tidak bermanfaat. Karya sastra justru lahir dari realitas objektif. Mencipta karya sastra berarti mengangkat realitas-objektif menjadi realitas baru. Realitas yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan yang dapat dicerna dan dipedomani dalam kehidupan serta bentuk penyajian yang penuh dengan estetis dan bermakna. Bahan penciptaan karya sastra diangkat dari realitas. Diangkat mengandung arti “diolah” sehingga menjadi realitas baru yakni realitas sastra yang estetis, imajinatif, dan bermanfaat bagi masyarakat. Bahan proses imajinatif yang diangkat oleh pengarang bukanlah lamunan, fantasi, atau khayalan, namun justru fakta kehidupan yang telah mengkristal dalam diri pengarang. Kristalisasi fakta kehidupan nampak pada pengalaman diri, pengalaman batin, pengalaman bahasa, maupun pengalaman estetis pengarang (Tjahjono, 1988:37). Hal tersebut digarisbawahi Horace (Wellek, 1989 : 25) bahwa sastra yang bermutu adalah sastra yang mengandung prinsip dulce et utile (indah dan berguna). Artinya karya sastra yang bermutu harus memenuhi syarat sebagai karya seni yang estetis (keindahan)-nya tinggi dan bermanfaat bagi pembacanya. Setelah membaca karya sastra ada sejumlah nilai kehidupan yang diperolehnya. Setidaknya mampu membangkitkan kepekaan diri dan bagi kehidupan sosialnya. Pengarang yang menghasilkan sebuah karya sastra dipenuhi oleh rekaman fakta sial yang telah tersimpan dalam memori otaknya. Fakta sosial itulah yang kemudian diolah dengan media bahasa yang penuh makna dan estetis. Sehingga sastrawan tidak sekedar mampu melaporkan realitas yang ada, juga disajikan dengan penuh keharuan rasa dan bahasa yang bermakna serta indah. Sastrawan lewat karyanya mencoba memahami setiap kehidupan sosial dari relung perasaan yang terdalam (Saraswati, 2003). Kehadiran sastra minimal untuk mengungkapkan fakta kemanusiaan yang bernilai penting secara jujur dan terbuka. Tentang apa yang dihadapi masyarakatnya dan gejala sosial lain yang selalu berkembang. Lebih dalam, sekaligus berkesempatan menyiarkan gagasan-gagasan cerdas bagi perubahan sosial. Dalam ruang yang lebih khusus, juga menjadi media untuk menuturkan kembali berbagai peristiwa aktual dengan tujuan menciptakan ruang diskusi bagi perubahan sosial. Masalah Melalui karya sastra berbentuk novel misalnya, kita bisa memahami hal-hal aktual yang terjadi di masyarakat tertentu. Masalah-masalah sosial dapat terungkap secara mendalam melalui peran tokoh dalam karya sastra. Latar sosial juga dapat muncul dalam pergulatan karakter tokoh dalam cerita. Artinya ada banyak hal yang didapat dalam membaca dan menelaah sastra kaitannya dengan konteks kehidupan masyarakat. Konsep ini semakin mempertajam, bahwa sebuah karya sastra seperti novel misalnya, tidak akan tercerabut dari masyarakatnya. Sastra akan selalu mencerminkan masyarakatnya dimana ia tercipta. Seperti halnya novel Nawang Karya Dianing Yudistira yang berlatar sosial “masyarakat tertentu” dimana ia diciptakan. Kita dapat menelaah novel tersebut dari: 1. Latar masyarakat desa/kampung yang terlilit dalam pusaran kemiskinan. 2. Gejala masyarakat yang termotivasi untuk urban. Metode Teknik yang digunakan sebagai alat analisis adalah dengan pendekatan sosiologis. Yakni mengkaji sastra dari perspektif sosial. Bahwa ada kaitan erat antara proses penciptaan sastra dengan realitas sosial. Yakni untuk memahami hubungan karya sastra dengan kehidupan sosial yang melingkunginya. Berdasarkan pandangan bahwa karya sastra diciptakan pasti berada dalam lingkungan masyarakat dan diungkap berbagai masalah masyarakat sesuai dengan gagasan dan persepsi pengarang (Yudiono, 2009:57) KAJIAN TEORI Problem Kemiskinan Salah satu masalah kemanusiaan yang dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Dengan tolok ukur pendapatan per kapita 1,25 dolar AS, diperkirakan jumlah penduduk miskin di dunia 1,4 milyar orang (“Understanding poverty,” 2009). Demikian pula, Indonesia, jumlah orang miskin tahun 2009 yang semula diperhitungkan oleh pemerintah 32,38 juta orang akan meningkat menjadi 33,71 juta orang atau setara dengan 14,87% jumlah penduduk Indonesia. Bila kita memperhatikan data terakhir dari BPS, pertumbuhan pembangunan suatu bangsa dapat dilihat juga dari Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Menurut UNDP nilai IKM Indonesia dewasa ini adalah 17,9 yang menduduki peringkat ke-33 dari 99 negara. Kemiskinan sebenarnya merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup: • Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. • Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Pada umumnya dari sisi penyebab, dikenal tiga macam kemiskinan (absolut), yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Mar’ie Muhammad (dalam http://www.stefanusrahoyo.blogspot.com),mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga, dan sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs). Termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut adalah pangan maupun nonpangan, khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar, perumahan dan kebutuhan transportasi. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat yang entah secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang ada. Keterbatasan kepemilikan tanah, harga jual gabah yang rendah sehingga penjualan hasil pertanian tak cukup mampu untuk bahkan sekadar menutup biaya produksinya membuat para petani terlilit kemiskinan dari hari ke hari. Semua itu terjadi karena tatanan kelembagaan (tata niaga) beras, khususnya, sangat dikendalikan sementara bantuan dan proteksi dari pemerintah terhadap sektor ini kurang terlihat. Tatanan institusional inilah yang menjerembabkan para petani dalam kemiskinan struktural. Sementara kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang terjadi akibat faktor-faktor budaya sehingga seseorang atau sekelompok orang tidak mampu “berproduksi” secara maksimal. Sikap malas, tak mau bekerja keras, ketiadaan budaya menabung, kebiasaan hidup boros, misalnya, tak pelak merupakan salah satu penyebab kemiskinan Satu hal lagi yang sering disebut sebagai salah satu penyebab kemiskinan absolut adalah faktor alamiah. Misalnya, tanah yang tandus dan miskin sumber daya alam, penduduk terlalu padat, cacat fisik sejak lahir, usia jompo. Sekalipun demikian, John Kenneth Galbraith telah memberikan bukti bahwa faktor-faktor alamiah kurang bisa dijadikan penjelasan mengenai terjadinya kemiskinan. Ia menunjuk Jepang, Singapura, Taiwan, Hongkong dan Korsel sebagai bukti. Secara alamiah negara-negara tersebut bukanlah negara-negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun demikian, dalam kenyataannya, kelima negara di atas tidak termasuk negara miskin. Kemiskinan berakibat pada partisipasi dan kualitas orang miskin. Artinya, akses anak-anak miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas, di samping kemungkinan putus-sekolah (drop-out) juga besar. Kondisi ini akan berdampak di kemudian hari setelah anak-anak miskin dengan pendidikan rendah ini memasuki dunia kerja. Mereka akan menduduki posisi yang juga rendah atau menjadi tenaga tidak terampil (unskilled labour), bahkan menjadi penganggur (jobless). Selanjutnya, bila mereka berkeluarga, pendidikan anak-anaknya juga akan relatif sama dengan taraf dan kualitas pendidikan yang dialami orangtuanya. Demikianlah siklus pendidikan seperti ini berlangsung dari generasi ke generasi dengan akibat pewarisan kemiskinan antar generasi. Hal kedua, kemiskinan juga berakibat pada perumahan. orang-orang miskin di perkotaan menempati rumah yang kurang layak huni Ketiga, masalah lain yang berkenaan juga dengan perumahan adalah orang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal (homeless). Orang miskin yang tidak memiliki rumah ini tinggal di taman kota, pinggir jalan, tenda atau tempat-tempat yang disediakan oleh lembaga sosial dan gereja. Penyebab gejala homeless ini adalah pengangguran, Keempat, kemiskinan juga berakibat terhadap kriminalitas. Di satu pihak, penduduk miskin dapat menjadi korban kejahatan, seperti dirampok atau diperas, karena mereka tidak cukup memiliki akses terhadap perlindungan wilayah yang mereka huni. Di pihak lain, orang miskin juga dapat menjadi pelaku kejahatan yang secara umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang beruntung, kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah terungkap dan tertangkap pelakunya. Tentu dibutuhkan berbagai kebijakan dan pendekatan strategis dalam upaya memperkecil angka kemiskinan. Baik kemiskinan yang bersifat struktural, kultural, maupun kemiskinan absolut. Problem Masyarakat Urban Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi Urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk, Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap. Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Di bawah ini adalah beberapa atau sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan. A. Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi 1. Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah 2. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap 3. Banyak lapangan pekerjaan di kota 4. Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng 5. Pengaruh buruk sinetron Indonesia 6. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas B. Faktor Pendorong Terjadinya Urbanisasi 1. Lahan pertanian yang semakin sempit 2. Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya 3. Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa 4. Terbatasnya sarana dan prasarana di desa 5. Diusir dari desa asal 6. Memiliki impian kuat menjadi orang kaya Tidak dapat dipungkiri pula, dampak urbanisasi menciptakan masalah kemiskinan beragam, antara lain akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan, ketidaksiapan infrastruktur, perumahan dan layanan publik. ANALILIS SOSIOLOGIS NOVEL NAWANG Novel Nawang Novel Nawang karya Dianing Widya Yudhistira diterbitkan oleh penerbit Republik tahun 2009. Novel Nawang merupakan salah satu karya Dianing Yudhistira, selain karyanya yang lain, seperti novel sintren (2007) yang masuk kategori lima besar Khatulistiwa Literary Award dan Perempuan Mencari Tuhan (2007). Selain itu cerpennya bisa ditemukan dalam sejumlah antologi cerpen Kembang Manyang (2000), Dunia Perempuan (2002), Yang Dibalut Lumut (2003), Bunga-bunga Cinta (2004). Untuk karya puisinya ditemukan dalam sejumlah buku antologi Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Dari Negeri Poci (1994 dan 1998), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Teriakan Kota (2003), dan Mahaduka Aceh (2005), Tanah Pilih (2008) dan lain-lain. Novel Nawang merupakan novel yang menceritakan tokoh perempuan bernama Nawang, yang sekaligus menjadi judul novel. Tokoh Nawang sejak kecil hingga dewasa yang selalu bergelut dengan problem hidup. Tokoh Nawang yang hidup di suasana desa yang masih sangat tradisional, masih mempercayai hal-hal yang mistis (tidak rasional). Nawang kecil telah dihadapkan pada persoalan orangtuanya yang hidup pas-pasan atau kemiskinan. Kemiskinan inilah yang menyebabkan Bapak Nawang, Karyo dan Mak Menur harus dikucilkan dari keluarga Mak. Keluarga Mak yakni Mbah Putri yang kaya raya tidak menyetujui pernikahan anaknya Menur dan Karyo. Karyo yang hanya pedagang ikan asin di pasar harus banting tulang menghidupi keluarganya. Mak yang hanya punya sebidang tanah, berusaha keras menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Meskipun akhirnya Bapak harus bekerja sebagai pedagang asongan di terminal bus, semangat untuk melanjutkan pendidikan bagi anak-anaknya, yakni Nawang dan Palupi terus bergelora. Sampai akhirnya Nawang dan Palupi menjadi sarjana dan bekerja tidak lagi sebagai petani miskin dan pedagang. Novel Nawang diakhiri dengan cerita Nawang yang sudah bekerja di Ibukota Jakarta dan akhirnya pulang kampung ke Batang, karena Bapak meninggal. Ia pun tidak bisa melihat Bapak untuk terakhir kalinya, karena tertinggal pesawat dan angkutan yang membawanya pulang. Nawang : Pusaran Masyarakat Miskin Kehadiran Novel Nawang memberi kesan tersendiri bagi realitas kebangsaan hari ini. Realitas tentang kondisi masyarakat yang terpuruk dalam kemiskinan terus-menerus. Banyak faktor yang menggeluti masyarakat miskin, sehingga mereka tetap tidak beranjak dari statusnya sebagai masyarakat miskin. Novel Nawang telah mempresentasikannya dengan gamblang dan cukup terbuka. Dengan mengambil latar cerita suasana pedesaan di Batang, sebuah kota kecil di belahan Jawa tengah, tampak jelas suasana alam yang asri dan masyarakat desa yang masih kental dengan keyakinan mistis dan kurang rasional. Sesuatu hal yang ada, selalu dihubungkan dengan hal-hal lain atau kehidupannya berkenaan dengan nasib dan kejadian yang akan datang. Kecemasan akan muncul bila tertimpa suatu hal yang dianggap isyarat bagi kehidupannya. “Kebetulan? Tidak. Ini tak sekedar kebetulan. Kata orang-orang tua,cicak jatuh di bahu kanan merupakan isyarat buruk. Akan datang musibah. Nawang ingat sama Galang yang pernah kejatuhan cicak di bahu kanannya. Tak lama kemudian mbah Sinom, buyut Galang yang sudah tua dan buta itu tercebur ke sumur belakang rumah... (Yudistira,2009:2) Keyakinan pada hal-hal yang berbau takhayul ini juga diulang oleh pengarang pada bagian lain. Ketika bapak terpuruk usahanya berjualan ikan asin. Bapak bahkan percaya ramalan Mbah Darno yang mengatakan kalau bapak tak akan pernah berhasil bila masih jualan ikan. Yang akhirnya bapak beralih dari berjualan ikan asin jedi berjualan kelontong (Yudistira, 2009: 24) Novel Nawang mampu bersentuhan dengan masyarakatnya. Yakni Alam desa yang dipenuhi dengan hiruk pikuk para buruh tani yang sedang bekerja. Dan suasana penuh keakraban antar individu begitu kental dimunculkan oleh pengarang (Yudistira,2009:3). Tidak hanya itu sekelumit suasana kota kecil Batang juga diekspresikan oleh pengarang. Kondisi pusat pertokoan di Batang yang dimiliki oleh etnis Cina, dan justru pribumi hanya kebanyakan sebagai pelayan toko. Membaca novel Nawang kita akan diajak untuk tidak sekedar memahami hiruk pikuk permasalahan rumah tangga yang terbelit kemiskinan, juga seolah diajak oleh pengarang untuk menyusuri jalan-jalan di kota Batang, seperti kutipan teks berikut. “Dalam perjalanan yang hiruk itu ia harus melewati tiga kali lampu merah. Artinya ia harus dua kali menyeberang. Lampu merah pertama di perempatan RSU Kalisari. Lampu merah kedua di dekat alun-alun Batang. Kedua lampu merah ini tidak pernah sepi dari kendaraaan. Usai itu ia melewati lagi lampu merah persis di depan alun-alun, dekat kantor polisi. Sepanjang jalan di depan alun-alun itu berjejer pertokoan yang dimiliki etnis Cina. Penduduk aslinya malah banyak yang menjadi pelayan toko di tanah sendiri. Selalu demikian, para perantau lebih gigih dalam berusaha, sementara penduduk asli lebih banyak santai dan cenderung menerima apa adanya (Yudistira, 2009: 7).” Kemiskinan telah membuat Nawang jadi korban. Dambaan keluarga yang utuh dan tenteram yang didambakan ternyata terhambat oleh faktor kemiskinan tadi. Bapak Nawang, Karyo yang berasal dari golongan orang miskin, sejak awal tidak diterima sebagai menantu oleh mbah putri untuk menikahi Mak Menur yang berasal dari golongan orang kaya. Meskipun pada akhirnya Mak juga nekat kawin dengan Bapak, Mbah Putri tetap saja tidak setuju dan malah menganggap Mak bukan anaknya lagi. “Mbah Putri meradang sampai sekarang. Meski telah lahir Nawang, Palupi dan Subur, mbah Putri belum bisa menerima bapak sebagai menantu. Mbah Putri sering mencemooh bapak, karena bapak datang dari keluarga miskin.” (Yudistira, 2009:13) Dapat dipahami bahwa kemiskinan dapat memberi efek yang luas dalam hal lain. Baik suasana batin maupun fisik. Pada batinnya misal: 1. Kemiskinan yang tidak pernah beranjak, akan menimbulkan keluhan-keluhan hidup yang pada akhirnya menyalahkan Tuhan. Tuhan dianggap kurang adil dan sebagainya, meskipun itu hanya lintasan sesaat dalam hati manusia. Seperti halnya dalam gambaran novel nawang, kemiskinan yang menderanya dan keluarganya mengakibatkan keluhan-keluhan kepasrahan. Benar kata Nabi bahwa kemiskinan akan dekat kepada kekufuran. “Duh Gusti,” ucap mak dengan sangat pasrah. Nawang terdiam. Betapa hidup seperti tengah mempermainkannya. Selama ini mak sama bapak tak pernah berhenti bekerja, tetapi ada saja masalah. Berkali-kali bapak ditipu teman sendiri. Orang yang berhutang sering ingkar janji, bahkan tak membayar. Sedang hasil sawah yang dikelola tak menentu.” (Yudistira, 2009:29) Di teks yang lain. “Nawang getir di depan Palupi. Tuhan seperti membedakan hidupnya. Bila orang lain hidup tenang, senang, rukun dengan kakek neneknya sejak semula, Nawang sebaliknya. Dari dulu ada saja masalah menghadang keluarganya. Istigfar Nawang, Tuhan tak pernah membedakan umatnya, begitu di sisi hatinya yang lain. Seperti inilah cara Tuhan mencintai kamu. Nawang menelan ludah. Apakah benar cara Tuhan mencintai umatNya seperti ini? Alangkah pahit cara Tuhan menyayangiNya.” (2009:67) 2. Kemiskinan akan menyebabkan perasaan serba salah pada orang lain. Menolak atau menerima pemberian orang lain yang lebih. Kalau diterima seakan telah menjatuhkan harga diri dihadapan orang lain. Tetapi kalau ditolak, seperti tidak enak kebaikan orang lain. Hal ini yang terjadi pada Bu lek Melati ketika diberi cincin pertunangan anaknya, Hasan. Nawang berharap Bu lek Melati menolaknya. Nawang teringat kata-kata Bapak, meskipun ia miskin tapi jangan sekali-sekali menadahkan tangan. (Yudistira, 2009:11-13). 3. Kemiskinan menumbuhkan sikap untuk tidak berprofesi yang justru jadi penyebab kemiskinan. Kemiskinan yang menimpa keluarga Nawang termasuk kategori kemiskinan struktural. Sebagai salah satu keluarga yang menggantungkan hidupnya pada pertanian, Nawang justru terlilit kemiskinan. Hasil pertanian tak cukup mampu untuk bahkan sekadar menutup biaya produksinya membuat para petani terlilit . Semua itu terjadi karena tatanan kelembagaan (tata niaga) beras, khususnya, sangat dikendalikan sementara bantuan dan proteksi dari pemerintah terhadap sektor ini kurang terlihat. Tatanan institusional inilah yang menjerembabkan para petani dalam kemiskinan struktural. Keberuntungan ekonomi belum berpihak pada petani Indonesia. “Jadi petani? Susah. Berangkat pagi-pagi pulang senja hari. Setiap hari bergelut dengan lumpur. Hasil panen sering tak menentu. Kalau bukan berat gabah yang menurun dari tahun kemarin, kualitas gabah yang menurun. Akibatnya harga gabah anjlok di pasaran. Kalau dihitung-hitung panen hanya menyisakan penghasilan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari.” (Yudistira, 2009 : 29) 4. Kemiskinan membuat anak-anak yang belum waktunya berpikir ekonomi keluarga, akhirnya ikut menanggung derita kemiskinan dan pergelutan masalah keluarga/orang dewasa. Semestinya anak-anak konsentrasi dalam belajar dan menuntut ilmu, harus disibukkan dengan mengurus rumah tangga dan membantu keluarga. Tidak jarang anak-anak terlibat sebagai pekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya yang miskin. Hal ini juga menimpa Nawang. Nawang harus menghadapi keruwetan hidup akibat kemiskinan struktural yang menimpa keluarganya. Ia harus menerima menjadi pembantu di warung Bu Dhe di kampusnya, karena bapak sudah tidak bisa lagi mengirim uang dengan normal, akibat dagangan bapak terbakar di pasar. “Nawang termenung di depan wajan. Tangannya tengah mencuci wajan yang tebal karena bumbu ikan yang menyatu dengan minyak goreng. Sebulan sudah ia menjalani profesi menjadi pembantu. Sekarang ia tak akan memandang rendah pekerjaan ini, apalagi meremehkan pembantu.”(Yudistira, 2009:154) 5. Kemiskinan juga berakibat pada ketersedian tempat tinggal yang terbatas dan fasilitas hidup seadanya. Nawang yang berasal dari keluarga miskin dalam sekolah harus naik sepeda ontel boncengan dengan adiknya Palupi. Untuk tidur pun ia juga harus berdua sekamar dengan Palupi. Beda dengan rumah Mbah Putri ketika mereka mengunjunginya. Terbesit juga untuk mempunyai kamar sendiri seperti di rumah mbah putri. “ sampai di rumah, ketika makan bersama, Palupi dan Nawang saling berebut untuk bercerita tentang rumah mbah putri yang serba wah. “ kapan ya mak, Palupi punya kamar sendiri, secantik kamar mak dulu.” Bapak tersendak. Semua terdiam. Tak lama kemudian bapak pergi tanpa berkata apapun (Yudistira, 2009:57)” Kemiskinan memang mendera, tetapi hal yang patut dihargai dan dicatat adalah semangat hidup untuk tetap bekerja keras. Begitu pula dalam kondisi miskin, gelora untuk terus mengenyam pendidikan yang lebih tinggi tidak luntur. Apapun akibatnya, pendidikan harus diutamakan. Tokoh bapak sadar, bahwa kemiskinan yang menyelimuti keluarganya harus dilawan dengan kerja keras dan salah satu cara untuk memberantas kemiskinan adalah dengan pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan. “ ...pokoknya kamu, Palupi, subur kuliah semua.” Nawang mengangguk-angguk. Sesaat keduanya saling diam. Bapak tidak ingin mewariskan kemiskinan pada anak-anaknya. Ia tahu betul betapa susah dan hinanya jadi orang miskin. Dicemooh, dikucilkan dari pergaulan, juga tak mendapat kepercayaan di tengah-tengah masyarakat. “tugas kamu, belajar yang teguh agar tercapai keinginanmu (yudistira, 2009:101)” Ada keteguhan hidup untuk terus berusaha dalam hidup. Yang terpenting, keluarga Nawang dapat mengambil nilai-nilai kehidupan dari kemiskinan yang dideranya. Nawang menjadi manusia yang tegar menghadapi masalah, begitu pula seluruh anggota keluarganya. Hal ini mungkin tidak akan dicapai oleh orang yang tidak merasakan kekurangan/kemiskinan. Nawang juga santun dan tidak menganggap rendah apapun yang berbau kemiskinan. Ketegaran dan kerja keras Nawang dan keluarganya inilah, ia berhasil lulus perguruan tinggi dan bekerja di Jakarta. Sementara adiknya Palupi sukses menjadi seorang guru SMP di daerah kelahirannya. Nawang : Gejala Urban Urban merupakan gejala sosial yang saat ini telah menjadi salah satu problem kebangsaan. Urban bahkan seakan mentradisi di kalangan masyarakat dan daerah yang minus lapangan pekerjaannya. Masyarakat desa dan pelosok, karena sulitnya mencari pekerjaan di kampungynya harus datang dan mengadu nasib ke kota-kota besar, termasuk ibukota Jakarta. Jadi urbanisasi hanya salah satu efek dari kemiskinan yang ada. Baik miskin harta dan keterampilan. Akibat kemiskinan yang terus berlangsung, dapat saja ia melakukan urban. Dalam novel Nawang, tampak jelas pengarang memperagakan tokohnya Nawang, yang melegitimasi semangat urban ini. Tokoh Nawang sejak awal telah berkomitmen untuk keluar dari daerahnya yang tidak menjanjikan perbaikan hidup baginya. Dimulai dari semangatnya untuk kuliah ke Kota Semarang dan tidak akan kembali lagi ke kampung halamannya. Artinya Nawang akan terus ke Jakarta untuk bekerja dan menetap di ibukota. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “seperti janji Nawang dulu, ia tak akan kembali ke Batang usai kuliah. Dan setelah cukup lama malang melintang menjadi penulis lepas di berbagai surat kabar, kabar baik datang. Teman kuliahnya dulu menawarinya pekerjaan sebagai editor. Tak peduli meski di Jakarta( Yudistira, 2009:172). Tarikan kuat untuk tetap tinggal di Jakarta menggelora. Nawang seakan tidak peduli lagi dengan kondisi tanah kelahirannya. Ia justru menganggap tanah kelahirannya telah berkhianat membuat dia bergelut dalam kemiskinan yang panjang. Ia tidak ingin lagi tertimpa hidup dalam keadaan miskin. Jauh dari penghargaan, selalu dicemooh dan sumber kesalahan. Karena kebanyakan orang menganggap orang miskin adalah tidak baik dan selalu jahat. Sikap urban yang ditunjukkan Nawang bukan tanpa alasan, atau dari ego berlebihan, tetapi dari kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan ia bertahan dalam kondisi kemiskinan. “Mbak tak akan pernah tinggal di Batang.” Bagaimanapun Batang, ia tanah air mbak Nawang.” Nawang menatap Palupi tajam lalu berkata dengan intonasi kuat, bahkan sangat kuat. “ tanah air yang telah berkhianat.” (Yudhistira, 2009:174) Barangkali tetap akar persoalannya adalah kemiskinan. Hidup dan mencari penghidupan di kota besar dianggap dapat meningkatkan taraf ekonomi dan taraf gengsi mereka terhadap lingkungan sebelumnya. Kota dianggap sebagai pusat segalanya mulai dari aktivitas ekonomi dan sosial. Simpulan Menelaah novel Nawang dari perspektif sosiologis, kita akan dihadapkan pada setidaknya beberapa tinjauan. Pertama, potret masyarakat miskin yang terus mendera dan menjadi momok bagi semua. Kedua, adalah problem hidup yang serba menyulitkan. Yang sebenarnya akarnya adalah kemiskinan itu sendiri. Ketiga, fenomena masyarakat urban. Penduduk desa yang berusaha mencari penghidupan yang lebih layak di kota-kota besar. Hal ini dikarenakan daerahnya sendiri sudah tidak mendukung bagi kehidupannya. Menurut M. Enoch Markum (psikolog UI) menangani kemiskinan perlu adalanya intervensi individual, intervensi kulutural da intervensi struktural.Intervensi individul harus diikuti oleh sikap mereka yang aktif , peduli terhadap lingkungan sekitarnya dan pada prinsipnya, lingkaran kemiskinan ini harus dihentikan atau tidak boleh terus berputar, yakni dengan cara memutus lingkaran sedini mungkin sebelum terjadi perpindahan ke kondisi lebih lanjut. Pemutusan lingkaran kemiskinan ini dimaksudkan agar orang miskin tidak terperangkap dalam lingkungannya. Intervensi kultural maksudnya mereka diyakinkan mempunyai kemampuan atau keterampilan tertentu (self- efficacy) yang selanjutnya akan tumbuh harga- dirinya (self-esteem). Sementara intervensi pengentasan kemiskinan harus secara struktural (political will), yakni dengan memprioritaskan dibukanya akses orang miskin terhadap pendidikan, kesehatan, listrik, perumahan, air bersih, dan program welfare lainnya Daftar Pustaka http://stefanusrahoyo.blogspot.com/2007/10/makalah.html Markum, M. Enoch. 2009. Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial diakses:www.psikobuana.com/ Saraswati, Ekarini, 2003. Sosiologi Sastra:Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UM Yudistira, Dianing Widya. 2009. Nawang. Jakarta : Republika Yudiono K.S. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta : Gramedia Sarana