Kita menjadi bangsa yang hampir kehilangan wibawa. Di luar negeri, kasus-kasus yang menimpa para TKI kita di sejumlah negara yang terus terjadi. Di dalam negeri, selain disibukkan dengan penanganan korban bencana alam, konflik antar elit politik yang tidak mencerahkan, korupsi yang semakin membingungkan penanganannya karena melibatkan semua pihak dan level. Menyitir pernyataan Ahmad Gojali Harahap, PBNU (2003) bahwa negeri ini telah menyerupai negeri “ democratic corruption”. Korupsi yang tidak hanya menyentuh level elit pemerintahan, tetapi juga kesepakatan korup yang justru merambah pada level kaum menengah (lembaga-lembaga masyarakat) dan level terbawah (masyarakat biasa).
Berbagai cara yang dianggap efektif dalam upaya pemberantasan korupsi dilakukan. Mulai optimalisasi fungsi lembaga penegak hukum, sampai pada keterlibatan NGO (Non Government Organization) semacam NU dan Muhammadiyah serta LSM untuk ikut menyuarakan antikorupsi. Di bidang pendidikan diprogramkan pendidikan antikorupsi pada siswa di sekolah-sekolah. Pendidikan antikorupsi mempunyai kepentingan jangka panjang. Terwujudnya generasi yang bersih, tidak korup dan beradab. Rencananya, pendidikan antikorupsi akan serentak dilaksanakan pada tahun 2011. Berbagai modul dan buku panduan pendidikan antikorupsi diterbitkan kerjasama antara KPK dan Kementerian Pendidikan Nasional. Sekolah diberi kewenangan penuh untuk mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi di sekolahnya masing-masing.
***
Hakikatnya, sekolah telah melakukan upaya menanamkan sejumlah nilai-nilai yang sejalan dengan kepentingan tersebut. Nilai-nilai yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah secara tidak sadar, telah ikut membentuk karakter pembelajar. Bahkan, alam sekitar juga menjadi sumber yang dominan bagi proses pembentukan kepribadian anak didik.
Guru bisa meminta siswa mengamati cara hidup dan perilaku penduduk yang bernilai kejujuran, jiwa sosial yang tinggi, dan sederhana. Menghormati dan menjamu setiap tamu dengan ikhlas meskipun seadanya. Hidup dengan penuh semangat kegotongroyongan yang masih kental dalam setiap kesempatan.Dalam konteks ini, siswa bisa dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial di desa dan kampungnya. Siswa dimungkinkan untuk mengadakan kas sosial kelas yang pengelolaannya dilakukan secara jujur. Selain itu siswa juga diajak untuk berdiskusi, tentang penyimpangan dan efeknya yang ada dalam masyarakat sekitar. Seperti adanya tindak kekerasan (perkelahian), pencurian, dan orang yang tidak suka bergotong-royong serta perilaku menyimpang lainnya. Sejumlah fenomena sosial yang terdapat dalam lingkungan sekitar sekolah menjadi laboratorium sekaligus tempat belajar siswa yang menyenangkan. Lingkungan menjadi sumber inspirasi bagi penemuan kembali jati diri siswa yang selama ini mungkin “tergerus” oleh konstruksi pengetahuan dari barat. Lingkungan dan alam sekitar, ternyata menjadi sumber seperangkat nilai yang dapat dikembangkan bagi kepentingan kepribadian anak didik yang beradab, berbudaya, dan lebih-lebih antikorupsi. Semoga!