Selasa, 22 Juli 2014

Terinspirasi "Istana Rakyat" Gus Dur : Bisakah Ditiru Presiden Baru

Tulisan ini merupakan posting dari Rijal Pakne Avisa di media sosial facebook. Ia bercerita bahwa saat lebaran, Presiden Gus Dur ingin open house di Istana Merdeka. Menerima rakyat, siapapun dan dari manapun, dalam suasana Idul Fitri. Gus Dur ingin istana kepresidenan menjadi benar-benar istana rakyat.

Bagian kerumahtanggaan istana menyarankan agar presiden menerima rakyat di teras istana saja. Apa daya, Gus Dur malah bersikeras ingin agar Open House digelar di ruang utama (credential room), tempat presiden menerima presiden negara lain, duta besar, dan tamu kehormatan negara lain. Perkaranya, karpet di ruang utama masih kinyis-kinyis, masih baru. Gres.
"Lha karpet itu kan rakyat juga yang beli..." jawab Gus Dur menegaskan keinginannya.

Tulisan ini merupakan pMaka, jadilah momentum Idul Fitri tahun 2000 itu Lebaran Rakyat. Ribuan rakyat antre mengular ingin menikmati Istana Merdeka dari dekat. Ada yang bersepatu dan berpakaian rapi, ada yang bersarung, bahkan ada yang bercelana kumal bersandal jepit karet yang talinya disambung rafia karena putus. Yang terakhir ini berasal dari Lamongan, demikian pengakuan pria ini kepada wartawan. Ia berangkat khusus demi momentum ini. Rombongan tuna netra juga hadir, tukang kebon dan pasukan kuning di Tugus Monas malah hadir dengan baju kebesaran berwarna oranye dan aroma yang khas sampah. Anak-anak jalanan juga datang diiringi orangtuanya. Semua diterima oleh Presiden Gus Dur. Lucunya, Menteri Pertahanan Mahfud MD bersama istri yang datang telat memilih ikut antre, meski sebagai anggota kabinet ia bisa melewati jalur khusus. Pak Mahfud malah senyum-senyum meladeni rakyat yang ingin berjabat tangan dengannya.

Hari itu, istana megah itu benar-benar dikukuhkan Gus Dur sebagai istana rakyat dan mereka dijamu dengan spesial. Karpet istana yang mahal dan mewah, yang dibeli memakai uang rakyat, benar-benar dinikmati rakyat. Karpet berwarna biru tua dengan kembang-kembang kuning keemasan di sepanjang tepiannya itu telah kumal terinjak oleh kaki rakyat yang sebelumnya menjejak gerimis di tanah. Hari itu, Istana Merdeka menjadi istana rakyat.

Catatanku!
Lalu, bisakah presiden baru produk pemilu 2014 akan meniru langkah Gus Dur melakukan desakralisasi istana negara dalam waktu yang secepat kilat. Mengubah imaji istana negara menjadi istana rakyat. Gus Dur telah melakukan perubahan mendasar tidak hanya fungsi istana negara yang sebelumnya terkesan elitis menjadi sangat populis, juga mengajak para elit kekuasaan negeri ini untuk tidak bersikap "pongah" pada kekuasaan. Ad kaum marginal yang harus digandeng dan diberdayakan. Gus Dur  sukses menghilangkan sekat-sekat diskriminasi status sosial antara kaum elit dengan rakyatnya.

Kita berharap Presiden Republik Indonesia produk pemilu 2014 dan anggota parlemen "memiliki kemiripan" gerakan sosial dengan Gus Dur untuk tidak bisa dikatakan sama persis, Saya kira harus ada upaya ke arah itu. Semoga.
(Diolah dari "Presiden Gus Dur: The Untold Story", karya P. Sambadha, hlm. 82-88)

Sabtu, 19 Juli 2014

PTK Bahasa Indonesia SMA : Merangkum Buku dengan Mind Mapping

Selengkapnya Penelitian Tindakan Kelas ini bisa dilihat dan diunduh di :

Merangkum Buku dengan Mind Mapping.docx

Puasa : Dari Syariat, Thoriqoh, dan Hakikat

Syeikh Abdul Qodir Al-Jilany QS, dalam Kitab Sirrul Asror menyebutkan: Puasa Syariat adalah menahan diri dari makan dan minum, dan dari berhubungan suami isteri di siang hari. Sedangkan Puasa Thoriqoh itu, mengekang seluruh tubuhnya dari hal-hal yang diharamkan, dilarang dan dicela, seperti ujub, takabur, bakhil dan sebagainya secara lahir maupun batin. Karena semua itu bisa membatalkan puasa thoriqoh.

Puasa syariat itu ada batas waktunya. Sedeangkan Puasa thoriqoh senantiasa abadi tak terbatas seumur hidupnya. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah saw:
“Betapa banyak orang berpuasa tetapi puasanya tidak lebih melainkan hanya rasa lapar…” (Hr. Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Karena itu disebutkan, betapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan betapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti manusia secara fisik, seperti firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy:
“Puasa itu untuk Ku dan Aku sendiri yang membalas pahala puasa.” (Hr. Bukhori)
“Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika memandang Keindahan Ku.”

Bagi Ulama syariat dimaksud dengan berbuka adalah makan ketika matahari maghrib, dan melihat bulan di malam Idul Fitri. Sedangkan ahli thoriqoh menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dengan Allah Ta’ala di hari qiyamat nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata.

Sedangkan Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy:
“Manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya.”
Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah swt, hingga ia tidak berpaling selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat.
Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah swt dan bertemu denganNya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat.

Jumat, 18 Juli 2014

Menyantuni Yatim : Katakan Ayahku adalah Ali Bin Abi Tholib

KATAKAN AYAHKU ADALAH ALI BIN ABI THALIB

Dikisahkan bahwa suatu waktu Imam Ali as melewati sebuah jalan dan beliau melihat seorang anak kecil yang sedang menangis. Beliau mendekati anak kecil itu, memeluknya dan menghapus airmatanya. Imam bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?"

Si kecil menjawab, "Aku datang kesini untuk bermain bersama anak-anak itu tapi mereka mengusirku karena kata mereka aku anak yatim yang sudah tidak punya ayah lagi dan mereka mengatakan 'kita tidak mau bermain dengan anak yang tidak punya ayah'."
 

Imam Ali as sangat tersentuh mendengarnya dan meneteskan airmata. Beliau kembali memeluk anak itu dan memberikan sejumlah uang kepadanya.
 

Imam berkata kepada si kecil, "Pergilah dan bermainlah bersama anak-anak itu. Jika mereka mengatakan lagi bahwa engkau tidak punya ayah, katakan kepada mereka
'Sesungguhnya ayahku adalah Ali bin Abi Thalib'." Subhanallah (Posting Habib Ali Assegaf)