Minggu, 26 September 2010

Sejatinya Reuni

Oleh Imam Suhairi Reuni banyak dipahami sebagai aktivitas berkumpul beberapa orang setelah lama berpisah yang sebelumnya punya keterikatan baik sosial maupun emosional. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008) dimaknai pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dsb) setelah berpisah cukup lama. Reuni dianggap saluran yang tepat untuk melepas kangen dan rindu. Reuni juga mampu me-refresh dari dunia kepenatan menuju situasi yang enjoy, menarik, dan ada gairah kembali. Ia dianggap sebagai silaturrahmi massal yang mudah dan murah. Reuni telah menjadi salah satu simbol tradisi dalam lingkungan masyarakat kita yang heterogen. Momentum lebaran menjadi waktu yang tepat untuk mengadakan acara reuni. Alasan utamanya, saat lebaran para perantau tengah mudik ke kampung halamannya. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dengan tradisi mudik lebaran yang tetap bercokol kuat di masyarakat kita. Dengan mengumpulkan teman saat sekolah atau kuliah, rekan seperjuangan dulu, dan keluarga besar diharapkan tercipta suasana segar dan harmoni kembali. Mengingat kembali kenangan masa silam antar teman, bercengkrama dengan bebas penuh energik. Ada suasana seperti dulu saat berkumpul satu sekolah/kampus,, meskipun kini diliputi kesibukan aktivitas dan status sosial sendiri-sendiri. Hal itulah yang menginspirasi berbagai kalangan, untuk menyelenggarakan kegiatan reuni. Seperti halnya para alumni sebuah SMA Negeri di Sumenep yang mengadakan reuni bagi alumninya semua angkatan dengan label memanfaatkan lima puluh tahun usia sekolah tersebut. Kegiatan ini juga merebak di berbagai kota di Jawa timur seiring momentum lebaran tahun ini. Paling sederhana, reuni diformat dalam bentuk pertemuan di gedung sederhana atau mungkin hanya di rumah teman lama yang diisi ramah tamah. Tetapi ada juga yang dikemas dalam bentuk reuni akbar yang melibatkan alumni dari semua angkatan satu sekolah. Kegiatannya pun bisa beraneka macam, tidak cukup satu hari. Seperti contoh reuni akbar lima puluh tahun SMA Negeri Sumenep, yang merangkai kegiatannya sejak awal puasa kemarin. Mulai dari tadarus, pengajian, pertemuan terbatas, bakti sosial, sholat id, sampai pada puncaknya pertemuan yang digelar secara massal di sebuah stadion olahraga. Bagaimanapun formatnya, tanpa disadari, kegiatan reuni telah mampu memoles kemeriahan nuansa lebaran. Ia telah mengejewantahkan potensi kedirian tenggelam pada dimensi sosial yang lebih luas. Aktivitas keluarga lebur ke dalam kebersamaan selama pelaksanaan reuni. Ada rasa bangga bersama dan berinteraksi kembali dengan relasi yang telah lama tidak bertemu. Tidak sekedar bercengkerama, tetapi ada rasa bersatunya kembali hati dan pikiran secara massal. Autokritik Namun kalau kita cermati, ada beberapa nilai terlupakan yang menandai di tengah kemeriahan artifisial itu. Yang dominan kemudian reuni hanya terkesan ajang kumpul-kumpul yang sifatnya pragmatis. Reuni tidak lebih sekedar berorientasi mengumpulkan teman lama untuk mengenang masa-masa lalu, makan-makan kemudian bubar. Reuni hanya berbekas sesaat tanpa menghadirkan makna yang lebih strategis. Lebih ekstrim, justru jadi ajang “kedirian”. Unjuk diri atas keberhasilan profesi yang ditekuni, pamer apa yang dimiliki pada teman lama, dan performa yang berlebih yang ditunjukkan kepada khalayak. Reuni justru semakin memperlebar diskriminasi sosial. Bingkai kebersamaan yang diharapkan tergadaikan dengan kungkungan elitisme reuni. Sebagian imaje yang berkembang pelaksanaan reuni jadi ajang cari untung. Sebelum pelaksanaan puncak acara reuni, panitia intensif melakukan penggalangan dana kemana-mana. Undangan yang disebar bukan tidak bernilai, tetapi peserta harus membayar sejumlah uang, sekaligus sebagai tiket untuk mengikuti acara. Tidak mengherankan, panitia juga membuka rekening khusus untuk mempermudah bagi donatur. Kalau pelaksanaan reuni sederhana, hanya beberapa orang, mungkin tidak terasa untungnya. Tetapi acara reuni yang melibatkan ribuan orang, pengadaan perlengkapan sampai konsumsi bisa bernilai proyek. Itulah yang muncul di sebagian peserta. Yang menyertai selanjutnya adalah reuni yang tidak peka sosial. Sebatas hanya kegiatan kelompok tertentu yang jauh dari dampak sosial yang lebih besar. Kita justru terjebak pada egoisme kelompok. Lupa pada “ fenomena dan masalah sosial” di luar yang semestinya justru harus mendapat peran prioritas. Tak ada efek sosial yang menyertainya kecuali hanya bersifat gerombolan (berkumpulnya seseorang sesaat tanpa keterikatan dan keberlanjutan). Reuni pada akhirnya adalah kegiatan informal yang tidak ada rencana tindak lanjut. Membangun Kebermaknaan Awalnya kita sepaham bahwa reuni adalah salah satu penanda pertemuan kembali relasi yang telah lama terlupakan dikarenakan kepentingan profesi yang tidak sama atau jarak geografis yang tidak mungkin bersatu. Namun ada hal baru yang lebih bermakna yang bisa kita kembangkan menandai kegiatan ini. Diperlukan dasar pemikiran yang strategis untuk melaksanakan kegiatan reuni.. Hal-hal apa saja yang melatarbelakangi, untuk siapa, dan langkah apa saja yang akan dilakukan dirumuskan dengan strategis. Panitia reuni tidak sekedar mendata nama dan alamat peserta, tetapi lebih komprehensif pada data pribadinya menyangkut profesinya sekarang. Pemrakarsa atau panitia sekaligus melakukan mamping keberadaan atas potensi yang dimiliki tiap alumni. Hal tersebut dilakukan agar reuni lebih punya efek strategis. Kita paham tidak semua alumni sukses dalam hidupnya. Alumni atau teman yang telah sukses dan memiliki potensi dapat memberdayakan alumni atau temannya yang kurang beruntung. Selanjutnya dibangun relasi strategis untuk kemudian merumuskan rencana tindak lanjut. Kalau memungkinkan dibentuk sebuah ikatan alumni yang nantinya menjadi lembaga sosial dengan aktivitas pemberdayaan. Dengan begitu, kegiatan reuni yang kita laksanakan tidak sekedar bermakna “kumpul-kumpul kemudian bubar”. Akan tercipta egaliterisme dan kerja-kerja sosial yang memberdayakan bagi alumni, teman atau konteks yang lebih luas, masyarakatnya. Semoga.

Selasa, 07 September 2010

Rekonstruksi Makna Puasa

Rekonstruksi Makna Puasa Oleh Imam Suhairi* Gaung puasa Ramadan terasa dimana-mana. Mesjid dan surau mulai dari pusat kota sampai pelosok kampung yang sebelumnya sepi, sejak hadirnya bulan Ramadan ramai dengan aktivitas keagamaan. Tidak terkecuali, pusat-pusat perbelanjaan penuh dengan antrian orang. Menariknya, penjual musiman di trotoar-trotoar jalan untuk kebutuhan takjil dan sahur serta berlebaran muncul bak jamur, ikut menyemarakkan aktivitas Ramadan. Kehadiran bulan Ramadan telah menciptakan profit tersendiri bagi para pedagang. Selama satu bulan mereka diberi kesempatan berkelana untuk menarik konsumen yang tiada lain adalah kaum muslim. Sementara konsumen, harus menganggarkan dana lebih dalam menunaikan segala kebutuhannya selama Ramadan dan Idul Fitri nanti. Kerepotan Sosial Tidak mengherankan, apabila pusat-pusat penjual makanan jelang buka puasa selalu diserbu para pembeli untuk memenuhi selera mereka. Aktivitas ibu-ibu tidak kalah sibuk, mereka harus kerja ekstra menyiapkan menu buka dan sahur mulai siang dan malam hari. Menjelang hari raya, mereka juga akan disibukkan dengan kebutuhan lebaran dan tuntutan barang-barang yang serba baru. Itu terjadi karena tradisi di masyarakat kita, berpuasa di bulan Ramadan tidak sekedar dipahami menahan haus dan lapar serta nafsu seks mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Juga melibatkan banyak aspek sosial yang melingkupi dan menjadi tuntutan tradisi. Tradisi menyiapkan buka dan sahur dengan serba mewah adalah salah satunya. Tradisi buka puasa bersama yang kadang cenderung hanya jadi ajang kedirian (riya’), untuk dikatakan bahwa dirinya mampu memberi buka puasa relasi bisnis, sanak famili, dan tetangganya. Kita juga disibukkan dengan persiapan perhelatan lebaran dengan serba baru. Yakni dengan memborong pakaian dan belanjaan untuk kebutuhan diri dan mungkin untuk dibagi-bagikan kepada sanak keluarga yang ada di kampung. Namun, hal itu kadang dilakukan bukan sebagai bingkai solidaritas sosial yang murni dan ikhlas lillah, tetapi hanya ingin menunjukkan keberhasilan diri. Di belahan lain, sejak awal puasa Ramadan telah direpotkan dengan persiapan mudik lebaran. Perusahaan-perusahaan jasa transportasi mulai sibuk dengan angkutan mudik. Sementara para pemudik, telah memesan tiket sejak awal puasa. Mereka juga direpotkan dengan barang-barang yang akan dibawa ke kampung mudik. Satu sisi, puasa telah menciptakan kerepotan sosial. Hakikat Puasa Komplit sudah, puasa yang kita jalani kebanyakan telah tergerus oleh kesibukan dan kerepotan sosial sempit makna. Puasa tidak mampu lagi memberikan perubahan derajat kehambaan kita dihadapan Tuhan. Puasa hanya terjebak pada tradisi dan rutinitas yang merepotkan jiwa dan jasmani. Yang menurut M Hilaly Basya, bahwa puasa dimaknai hanya sebagai tradisi yang tidak mampu didialogkan secara bermakna. Upaya membangun kembali makna puasa harus diawali oleh kesadaran diri akan hakikat tujuan perintah puasa. Kesadaran harus kembali tertanam utuh, bahwa berpuasa adalah “la’allakum tattaquun”. Derajat taqwa akan mengalahkan kesibukan dan kerepotan hidup yang tidak sinergis dengan jalan ketuhanan. Hujjatul Islam Imam Gazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin menetapkan arti taqwa ke dalam dua hal, yakni taqwa fardu, kemampuan menahan diri dari mengerjakan yang diharamkan oleh Allah. Yang kedua, taqwa adab, yakni menahan diri dari berbuat berlebih-lebihan dalam barang yang halal. Jika kita dapat mencapai kedua-duanya, yakni menahan diri dari mengerjakan haram dan dari perbuatan berlebih-lebihan dalam yang halal, maka tercapai taqwa yang sempurna (waro’kamil). Mencapai itu semua tentu dengan jalan riyadah melawan hawa nafsu. Yakni memelihara anggota tubuh dan hati dari maksiat lahir dan maksiat batin. Metode yang tepat untuk melawan hawa nafsu adalah lapar dan dahaga Patut dicermati Sabda Rasulullah melalui Ibnu Abbas ra. bahwa “ tidak akan bisa memasuki istana langit, orang yang penuh perutnya”. Dengan puasa, minimal dapat menghilangkan syahwat lahir, juga dapat membersihkan hati, melembutkannya, dan akhirnya dapat mengantarkannya ke arah ma’rifatullah (kenal akan hakikat ketuhanan). Seorang Sufi, Sahl At Tasturi mempertegas keutamaan puasa “ sekarang ini adalah masa yang tiada seorang pun memperoleh keselamatan kecuali dengan mengendalikan hawa nafsunya. Mengendalikannya hanya dengan lapar dan dahaga, qiyamul lail, dan rajin ibadah. Mudah-mudahan dengan puasa tahun ini, kita dapat kembali pada makna hakiki dari puasa