Senin, 16 November 2009

Rekonstruksi Makna Puasa

Rekonstruksi Makna Puasa Oleh Imam Suhairi Gaung puasa Ramadan terasa dimana-mana. Mesjid-mesjid di pusat kota dan surau-surau di pelosok kampung yang sebelumnya sepi, sejak hadirnya bulan Ramadan ramai dengan aktivitas keagamaan. Tidak terkecuali, pusat-pusat perbelanjaan penuh dengan antrian orang. Menariknya, penjual musiman di trotoar-trotoar jalan untuk kebutuhan takjil dan sahur serta berlebaran muncul bak jamur, ikut menyemarakkan aktivitas Ramadan. Pada perspektif relasi penjual dan konsumen, kehadiran bulan Ramadan telah menciptakan profit tersendiri bagi para pedagang. Selama satu bulan mereka diberi kesempatan berkelana untuk menarik konsumen yang tiada lain adalah shoimin. Sementara konsumen, harus menganggarkan dana lebih dalam menunaikan segala kebutuhannya selama Ramadan dan Idul Fitri nanti. Kalau dicermati sepintas, kebutuhan konsumsi memang terkurangi selama puasa. Aktivitas makan dan minum di siang hari tidak ada. Tetapi proses menyiapkan buka dan sahur selalu lebih dari hari-hari biasa. Menu pun harus diatur sedimikian rupa dan tersedia hidangan yang menyegarkan dan enak-enak. Kerepotan Sosial Tidak mengherankan, apabila pusat-pusat penjual makanan jelang buka puasa selalu diserbu para pembeli. Aktivitas ibu-ibu tidak kalah sibuk, mereka harus kerja ekstra menyiapkan menu buka dan sahur mulai siang dan malam hari. Menjelang hari raya, mereka juga disibukkan dengan kebutuhan lebaran dan tuntutan barang-barang yang serba baru. 500Satu sisi, puasa telah menciptakan kerepotan sosial. Itu terjadi karena tradisi di masyarakat kita, berpuasa di bulan Ramadan tidak sekedar dipahami menahan haus dan lapar serta nafsu seks mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Juga melibatkan banyak aspek sosial yang melingkupi dan seiring dengan tuntutan tradisi dalam masyarakat. Tradisi menyiapkan buka dan sahur dengan serba mewah adalah salah satunya. Tradisi buka puasa bersama yang kadang cenderung hanya jadi ajang kedirian (riya’), untuk dikatakan bahwa dirinya mampu memberi buka puasa relasi bisnis, sanak famili, dan tetangganya. Kita juga disibukkan dengan tradisi menyiapkan perhelatan lebaran dengan serba baru. Yakni dengan memborong pakaian 400dan belanjaan untuk kebutuhan diri dan mungkin untuk dibagi-bagikan kepada sanak keluarga yang ada di kampung. Namun, hal itu kadang dilakukan bukan sebagai bingkai solidaritas sosial yang murni dan ikhlas lillah, tetapi hanya ingin menunjukkan keberhasilan diri. Di belahan lain, sejak awal puasa Ramadan telah direpotkan dengan persiapan mudik lebaran. Perusahaan-perusahaan jasa transportasi mulai sibuk dengan angkutan mudik. Sementara para pemudik, telah memesan tiket sejak awal puasa. Pemudik juga direpotkan dengan barang-barang yang akan dibawa ke kampung. Makna Hakiki Puasa Komplit sudah, puasa yang kita jalani kebanyakan telah tergerus oleh kesibukan dan kerepotan sosial tanpa makna. Puasa tidak mampu lagi memberikan perubahan derajat kehambaan kita dihadapan Tuhan. Puasa hanya terjebak pada tradisi dan rutinitas yang merepotkan jiwa dan jasmani. Menurut M. Hilaly Basya (2003), bahwa puasa dimaknai hanya sebagai tradisi yang tidak mampu didialogkan secara bermakna. Upaya membangun kembali makna puasa yang telah terkikis fenomena tersebut harus diawali oleh kesadaran diri akan hakikat tujuan perintah puasa. Kesadaran harus kembali tertanam utuh, bahwa berpuasa adalah “la’allakuum tattaquun” , yakni untuk mencapai taqwa. Derajat taqwa akan mengalahkan kesibukan dan kerepotan hidup yang tidak sinergis dengan jalan ketuhanan. HujjatulIslam Al-Imam Gazali dalam Minhajul ‘Abidin menetapkan arti taqwa ke dalam dua hal, yakni taqwa fardu, yakni menahan diri dari mengerjakan yang diharamkan oleh Allah. Yang kedua, yakni taqwa adab, yakni menahan diri dari berbuat berlebih-lebihan dalam barang yang halal. Jika kita dapat mencapai kedua-duanya, yakni menahan diri dari mengerjakan haram dan dari perbuatan berlebih-lebihan dalam yang halal, maka tercapai taqwa yang sempurna (waro’kamil). Mencapai itu semua tentu dengan jalan riyadah melawan hawa nafsu. Yakni memelihara anggota tubuh dan hati dari maksiat lahir dan maksiat batin. Metode yang tepat untuk melawan hawa nafsu adalah lapar dan dahaga tatkala puasa . Patut dicermati Sabda Rasulullah melalui Ibnu Abbas ra. bahwa “ tidak akan bisa memasuki istana langit, orang yang penuh perutnya”. Ucapan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa tradisi para Nabi dan Wali adalah melazimkan lapar dan dahaga untuk mencapai kebahagian hakiki bersama Tuhan. Dengan puasa, minimal dikendalikan syahwat lahir, dapat membersihkan hati dari segala bentuk kemunafikan, melembutkannya (latifaturruhaniah), dan akhirnya dapat mengantarkannya ke arah ma’rifatullah (kenal akan hakikat ketuhanan). Seorang Sufi, Sahl At Tasturi mempertegas keutamaan puasa “sekarang ini adalah masa yang tiada seorang pun memperoleh keselamatan kecuali dengan mengendalikan hawa nafsunya. Mengendalikannya hanya dengan lapar dan dahaga, qiyamul lail, dan rajin ibadah”. Sudah saatnya kita menyusun kembali hakikat tujuan dan makna puasa Ramadan yang penuh kemuliaan secara strategis. Yakni dengan melibatkan seluruh potensi diri mulai dari kekuatan jasmani untuk berbuat, pikiran untuk bertafakur, dan hati untuk selalu zikir yang diarahkan pada satu titik taqwa. Mudah-mudahan dengan puasa tahun ini, kita dapat meraih makna hakiki dari puasa. Penulis adalah Pegiat pada Lembaga Kajian Madura Society Development (MaSDev) Madura